Pemkab Dituding Tak Peka, Peneliti Lingkungan Sebut Bojonegoro Sedang Krisis Iklim

Pemkab Dituding Tak Peka, Peneliti Lingkungan Sebut Bojonegoro Sedang Krisis Iklim Korban banjir di Desa Sobontoro, Kecamatan Balen, Sabtu (26/11/2022) kemarin

Peristiwa serupa juga terjadi di awal September 2022 kemarin, kurang lebih 60 hektar tanaman tembakau milik petani Desa Banjaran dan Desa Sraturejo, Kabupaten , mengalami gagal panen setelah sebelumnya diguyur hujan lebat.

"Sementara kita tahu, anggaran untuk pertanian hanya sekitar 2 persen dari APBD. Mengingat pertanian merupakan lokomotif perekonomian basis masyarakat , tingkat kemiskinan daerah juga mayoritas di sektor pertanian, dan juga para petani dan buruh tani yang paling rentan terdampak krisis iklim dan bencana ekologi, maka anggaran segitu saya rasa sangat kecil, harus dinaikkan," jelas Wahid.

Meskipun dampak krisis iklim di sudah nyata di depan mata, menurutnya, perhatian para pemangku kebijakan di daerah, selama ini masih sangat minim. Penilaian ini, didasarkan pada, diantaranya, kebijakan perencanaan dan anggaran pembangunan di yang belum memiliki perspektif ramah lingkungan.

Anggaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) untuk lingkungan, hanya Rp50,9 miliar atau sekitar 0.9 persen dari total belanja daerah. Ini menurun jika dibanding tahun 2021, yang mencapai Rp142,3 miliar atau sekitar 2,3 persen. Belum lagi, dari total anggaran fungsi lingkungan hidup ini banyak yang terserap untuk alokasi belanja pegawai, kegiatan-kegiatan koordinasi, sementara alokasi anggaran yang langsung bersentuhan dengan upaya pelestarian lingkungan ataupun recovery (pemulihan) kawasan lindung terkadang justru minim.

Kabupaten juga dinilai belum memiliki kebijakan ataupun rencana aksi pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK). Padahal, jika mengacu Perpres 98/2021, ada mandat kepada Pemerintah Kabupaten untuk menyusun rencana aksi adaptasi perubahan iklim di daerah.

Dengan melihat berbagai persoalan yang berkaitan dengan ancaman krisis iklim dan bencana ekologi, sebagaimana dijelaskan di atas, dia menyebutkan, berdasarkan diskusi-diskusi yang dilakukan para pegiat Lingkar Studi Ekologi dan Energi Terbarukan (SuKET) , diharapkan Pemkab memberikan perhatian serius terkait ancaman krisis iklim dan bencana ekologi.

Terlebih lagi di merupakan daerah penghasil migas terbesar di Indonesia. Pendapatan daerah (APBD) mayoritas dari pendapatan migas. Oleh sebab itu, Pemda harus memiliki rasa tanggung jawab atas rantai karbon yang dihasilkan dari migas yang diambil dari ‘Kota Ledre’ ini. Meskipun 'fosil oil’ (bahan bakar minyak) tersebut tidak dibakar di , tetapi setiap tetes bahan bakar minyak yang berasal dari yang dibakar di luar sana terdapat jejak emisi karbon dari daerah ini.

" harusnya menjadi kabupaten pelopor dalam pengendalian emisi gas rumah kaca, diantaranya dibuktikan dengan ikut mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), sebagaimana sudah ditetapkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, 2021," pungkasnya.(nur/sis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Perahu Penyeberangan Tenggelam di Bengawan Solo, Belasan Warga Dilaporkan Hilang':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO