Oleh: M Mas’ud Adnan
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Sekitar lima tahun setelah Muktamar NU ke-27 di Situbondo, merebak berita di media massa bahwa KHR As’ad Syamsul Arifin mufaraqah (memisahkan diri) dari kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Padahal Kiai As’ad inilah pendukung utama Gus Dur saat terpilih sebagai ketua umum PBNU bersama KH Ahmad Shidiq sebagai Rais Aam Syuriah PBNU pada Muktamar tahun 1984 di pesantren yang diasuhnya yaitu Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
BACA JUGA:
- Temu Alumi Tebuireng, Gus Kikin: Kalau Tak Ada Resolusi Jihad Tak Ada Perang 10 November
- Aktivis NU Kultural ini Desak PKB Objektif soal Rekom pada Pilkada 2024 di Kabupaten Pasuruan
- Hardiknas 2024, ISNU Jatim Undang Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama Ikuti Workshop
- Pesan Gus Kikin untuk ISNU Jatim: Hadratusyaich adalah Ulama yang Unggul
Kiai As’ad mufaraqah, di antaranya, karena Gus Dur jadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). "Ketua NU kok jadi pimpinan ketoprak," kata Kiai As'ad.
(Presiden RI ke-2 Soeharto menyalami KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) disaksikan KHR As'ad Syamsul Arifin (bersorban, no 2 dari kanan) dan KH Ahmad Shiddiq (tengah bersorban, no 3 dari kanan). foto: repro detik)
Kiai As’ad mufaraqah juga karena Gus Dur jadi juri festival film dan membuka Malam Puisi Yesus Kristus dan dianggap membela Syiah. Namun pada acara “Gus Dur Diadili 200 Kiai” di Pesantren Darut Tauhid Cirebon pada 8-9 Maret 1989, putra KH A Wahid Hasyim yang bernama asli Abdurrahman Ad-Dakhil itu menjawab dengan cerdas semua yang diresahkan para kiai, termasuk Kiai As’ad.
Menurut Gus Dur, aktif dalam bidang kesenian bagian dari dakwah. Apalagi saat itu film-film bioskop dipenuhi film semi porno yang terkenal dengan istilah sekwilda (sekitar wilayah dada) dan bupati (buka paha tinggi-tinggi).
(KHR As'ad Syamsul Arifin bersama Menteri Agama RI Orde Baru Alamsjah Ratu Perwiranegara. foto: repro detik)
Memang, saat Gus Dur jadi juri festival film itu mulai terjadi perubahan. Nominator dan pemenang film sangat ketat. Gus Dur dan para juri film menyingkirkan film-film picisan penuh bumbu seks. Yang diangkat sebagai nominator dan pemenang adalah film yang memenuhi standar seni dan berkualitas.
Gus Dur juga menjelaskan soal isu “Assalamu’alaikum” diganti “Selamat Pagi”. Menurut Gus Dur, secara budaya dalam pergaulan sehari-hari “Assalamu’alaikum” memang boleh saja diganti “Selamat Pagi”. Tapi, kata Gus Dur, jangan lupa bahwa secara syariat Asslamu’alaikum itu bagian dari salat sehingga tak sah salatnya jika tanpa Assalamu’alaikum, apalagi diganti selamat pagi. Nah, dalam berita yang dimuat Majalah Amanah pernyataan Gus Dur bahwa “secara syariat Assalamu’alaikum bagian dari salat yang tak boleh ditiadakan atau diganti” terpotong sehingga Gus Dur seolah-olah memperbolehkan Assalamu’alaikum diganti dengan Selamat Pagi. Maka publik pun geger.
(KHR As'ad Syamsul Arifin dan Menteri Penerangan Orde Baru Harmoko. foto: repro detik)
Namun Kiai As’ad mufaraqah sejatinya bukan karena pemikiran Gus Dur yang kontroversial. Tapi karena Gus Dur sangat kritis terhadap pemerintahan Orde Baru, terutama Soeharto. “Saya memilih mufaraqah (memisahkan diri), tetap di satu masjid tapi tidak mau jadi makmum. Ya, bagaimana, wong ketika salat imamnya kentut atau kelihatan ‘anu’-nya. Masak saya mau makmum juga,” kata As'ad bertamsil seperti dilaporkan Tempo edisi 2 Desember 1989.
Warga NU pun gempar. PBNU mengutus KHM Yusuf Hasyim, pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang untuk tabayun (klarifikasi) ke Kiai As’ad. Kiai Yusuf Hasyim adalah putra Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari yang saat itu Wakil Rais Syuriah PBNU.
Kiai Yusuf Hasyim merekam semua pembicaraan Kiai As’ad saat tabayun. Ternyata apa yang muncul di media massa berbeda sekali dengan sikap asli Kiai As’ad. Intinya, Kiai As’ad tetap bersama Gus Dur dan PBNU. “Iya ya..” demikian salah satu penggalan pernyataan Kiai As’ad dengan nada tinggi dalam rekaman itu ketika Kiai Yusuf minta Kiai As’ad jangan mufaraqah.