Makan Durian Tak Boleh Disosor secara Kasar, Inilah Caranya | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Makan Durian Tak Boleh Disosor secara Kasar, Inilah Caranya

Editor: MMA
Minggu, 14 November 2021 06:39 WIB

Dahlan Iskan

Akhiong pun mengirimkan foto-foto hasil pruning itu. Saya lihat, durian yang dipruning memang sudah bukan pentil lagi. Sudah lebih besar dari pentil.

Mungkin yang dilakukan Pak Yanto lebih baik: dipruning ketika masih pentil. Ketika baru sebesar bolanya Alay. Kan sayang, nutrisi pohon sudah telanjur banyak terserap di buah itu baru dibuang.

Mungkin juga mereka yang di Bangka dan Medan itu yang benar: kalau masih terlalu pentil bagaimana bisa tahu mana yang perkembangannya kurang baik?

Cara Bangka itu bisa lebih yakin memilih mana pentil yang memang harus dibuang.

Dari Malang saya berangkat duluan menuju Lumajang. Saya memilih jalur yang lebih panjang: memutar ke arah selatan Gunung Semeru. Ingin tahu saja.

Saya belum pernah melewati jalur itu.

Itulah jalur yang disebut lewat Piket Nol.

Saya tidak menyangka jalur antar kecamatan ini padat dengan kendaraan truk. Kelihatannya ekonomi berkembang baik di pelosok ini. Di sepanjang jalan, saya melihat pohon sengon di mana-mana. Di lereng-lereng bukit. Petani memilih menanam sengon. Yang setelah lima tahun bisa dipanen: dijadikan bahan baku industri kayu.

Setelah tiga jam perjalanan, tibalah di Piket Nol. Langit bermendung hitam. Matahari kian menyenja. Saya belum menulis artikel Disway. Pun belum memilih komentar pilihan.

Itu cukup alasan untuk berhenti. Biarlah istri jalan-jalan di Piket Nol. Saya duduk di atas batu besar. Di tebing batu yang tinggi. Di situlah saya menulis naskah. Di HP tercinta ini. Juga membaca semua komentar sampai jam itu.

Ternyata istri tahu sendiri ke mana dan di mana pemandangan terbaik. Saya menyusul: ternyata ke jembatan lama yang sudah tidak dipergunakan lagi.

Dari jembatan ini terlihat jembatan baru yang lebih tinggi dan besar. Pemandangannya bagus sekali. Beberapa turis lokal juga terlihat di jembatan lama itu. Sambil wajahnya terlihat penuh ketakutan. Takut roboh. Aspal jembatan memang masih utuh, tapi pagarnya sudah lenyap. "Dicuri orang," ujar Bupati Lumajang, Toriqul Haq yang masih sangat muda itu.

Tapi pencurian itu bukan urusan bupati. Jembatan itu milik provinsi. Hanya saja sayang kalau sampai runtuh. Jembatan lama itu bisa jadi panggung wisata. Bisa diberi pengaman yang memadai.

Dan lagi jembatan itu bisa untuk arena uji nyali. Sesekali jembatannya bergetar. Itu pertanda gunung Semeru lagi batuk-batuk kecil. Kalau sampai roboh memang berbahaya: sungai di bawahnya dalam sekali.

Dulu memang ada pos di pinggir jalan: itulah pos untuk piket di lokasi yang tertinggi di jalur Malang-Lumajang.

Di pos itu dulunya wisatawan istirahat. Kini sudah rusak. Warung-warung kecilnya juga sudah kumuh. Lingkungan Piket Nol harus diselamatkan. Mungkin sulit: siapa yang merasa memilikinya.

Saya sudah terlalu malam tiba di Lumajang. Sudah lapar. Pak Bupati Toriqul Haq minta saya makan di pendopo. Saya milih bertanya: di mana ada sate gule yang enak.

"Sate Pak Toha," jawab pak Bupati. Saya pun ke sana. Ternyata ada menu yang lebih enak lagi: sop kikil kambingnya. Sikat semua: sate, gule, kikil. Apalagi mendung sudah berubah jadi hujan.

Maka saya gagal ikut acara DT di Senduro. Padahal di Senduro yang itu kami punya acara khusus: silaturahmi ke pohon durian tua di sana. Konon sudah berumur 300 tahun, tapi masih produktif.

Sekarang ini, kata mereka, si tua lagi memamerkan kekuatannya: berbuah sampai 1.000 buah. Ok. Saya akan silaturahmi sendiri nanti. Kapan-kapan. Saya akan menantangnya: sama-sama tua mana yang masih lebih perkasa. (Dahlan Iskan)

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video