​Organisasi Buzzer Sukses "Manipulasi Opini Publik", Kado Ulang Tahun Emas LP3ES | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Organisasi Buzzer Sukses "Manipulasi Opini Publik", Kado Ulang Tahun Emas LP3ES

Editor: MMA
Sabtu, 21 Agustus 2021 08:33 WIB

M Mas'ud Adnan. Foto: bangsaonline.com

Wijayanto memberi contoh dalam kasus KLB Partai Demokrat. “Pak Mahfud pernah bilang, Pak SBY kan juga melakukan hal yang sama ketika Muhaimin (Iskandar-Red) mengambil alih PKB dari Gus Dur,” ujar Wijayanto. “Lalu memanfaatkan ucapan itu dengan menciptakan #SbyKenaKarma,” kata Wijayanto.

Yang juga menarik ketika Wijayanto mengemukakan tentang sikap Presiden SBY dan Presiden Jokowi dalam merespons opini publik di media massa. Menurut dia, Kompas pernah menulis berita utama berjudul: Pilkada Tidak Langsung akan Jadi Warisan Buruk SBY.

Waktu itu pemerintahan SBY memang lagi mengajukan RUU baru: agar Pilkada tidak perlu lagi secara langsung. Cukup kembali lewat DPRD.

SBY, tutur Wijayanto, merenung membaca berita utama Kompas itu. Lalu membatalkan RUU tersebut. Semua itu ia ketahui lewat wawancara orang-orang dekat SBY.

Tahun lalu, kata Wijayanto, Kompas juga memuat berita utama dengan judul mirip itu: Revisi UU KPK akan Jadi Warisan Buruk Jokowi.

Apa Jokowi juga merenung dan membatalkan? Hasilnya: UU KPK tetap saja direvisi.

Baiklah.

Tapi kenapa kualitas demokrasi menurun? Tahun lalu sebenarnya sudah pernah meliris masalah ini.

"Sebagian besar responden melihat bahwa demokrasi di Indonesia berada dalam situasi yang suram berupa kemunduran," kata Wijayanto dikutip Tempo, Ahad, 23 Agustus 2020.

Secara total 44,7 persen responden menngatakan bahwa demokrasi berada dalam situasi suram, yaitu berupa kemunduran, stagnasi/kemandegan sebanyak 23,7 persen, dan berada dalam otoriterisme 28,9 persen. Hanya 2,7 persen responden yang menilai demokrasi mengalami kemajuan.

Penelitian tersebut juga menemukan 31 permasalahan yang menandai kemunduran demokrasi di Indonesia. 21 di antaranya muncul dalam hasil survei, dan sepuluh lainnya muncul dalam diskusi terfokus.

Di antara 21 masalah yang muncul dari hasil survei adalah politik uang dalam pemilu, macetnya kaderisasi partai politik, populisme dan politik identitas, hilangnya oposisi, korupsi politik, kabar bohong dan ujaran kebencian, rendahnya literasi politik, imunitas terhadap pelanggar HAM, dan lain-lain.

Sepuluh lainnya adalah dinasti politik, sentralisasi partai politik, nir ideologi partai, tidak ada kesetaran dan demokrasi di internal partai, untuk memanipulasi opini publik, dan beberapa lainnya.

Menurut penelitian ini, politik dinasti adalah salah satu masalah serius demokrasi. Wilayah praktik politik dinasti adalah Banten yaitu keluarga ratu Atut, dan Solo yaitu Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi.

Juga soal oligarki politik yakni kekuasaan dan kekayaan dikuasai segelintir orang yang kini subur di Indonesia. Namun yang juga sangat buruk tentu saja dan cyber troops yang telah manipulasi opini publik dilakukan untuk kepentingan politik.

Saya tak tahu apakah para   itu bangga setelah baca hasil penelitian itu karena telah sukses memanipulasi opini publik. Atau justru merenung dan menyesal karena telah ikut andil merusak bangsa dan negaranya sendiri hanya demi kepentingan pragmatis, finansial, dan politik kotor. 

Yang pasti sejarah pasti mencatat siapa dan apa yang telah dilakukan oleh para aktor di negeri ini. Dan itulah yang akan diwarisi oleh generasi bangsa kelak. Wallahua'lam bisshawab.

Penulis, alumnus Pesantren Tebuireng, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater-Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) dan Pascasarjana Unair.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video