Gus Sholah, KKNU dan Stigmatisasi Neo Khawarij NU
Editor: Tim
Sabtu, 28 November 2020 22:34 WIB
Dalam setiap pertemuan, Gus Sholah selalu membahas bagaimana memupus sikap pragmatisme di NU, terutama money politics dan keterlibatan NU dalam politik praktis. Gus Sholah kadang memberi contoh keikhlasan para pengurus Muslimat NU.
“Kalau diundang rapat, para pengurusnya tanpa uang transport. Pakai uang pribadi sendiri-sendiri,” kata Gus Sholah. Ia tahu banyak budaya Muslimat NU, karena Nyai Farida Salahuddin Wahid, istri Gus Solah, pengurus Muslimat NU Pusat.
Pertemuan dengan para kiai terus berlangsung. Tapi ketika menjelang pemilihan gubernur (pilgub) Jawa Timur, Gus Sholah minta acara silaturahim ke pesantren itu dihentikan sementara. Gus Sholah khawatir gerakan moral NU itu dikira untuk kepentingan pilgub. Apalagi dalam pilgub itu Gus Sholah mendukung Khofifah Indar Parawansa.
Begitu Khofifah menang melawan Saifullah Yusuf (Gus Ipul), gerakan moral Gus Sholah dimulai lagi. Tapi tak lama berselang, datang Pemilihan Presiden (Pilpres). Berbeda dengan pilgub yang mendukung Khofifah, Gus Sholah menyatakan netral dalam Pilpres.
Sikap netral Gus Sholah itu justru disalahpahami. Gus Sholah dikira mendukung Capres Prabowo Subianto. Maklum, para kiai yang tergabung dalam tim Khofifah saat Pilgub - seperti Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, KH Afifudddin Muhajir, dan kiai yang lain - all out mendukung Capres Joko Widodo dalam pilpres. Bahkan mendirikan Jaringan Kiai Santri Nasional (JKSN).
Untung para kiai barisan Khofifah itu paham. Tak satu pun mereka mempersoalkan sikap netral Gus Sholah dalam Pilpres. Mereka paham tentang moral dan integritas Gus Sholah. Artinya, kalau Gus Sholah bilang netral, berarti benar-benar netral. Karena itu, para kiai barisan Khofifah yang mendukung Jokowi tetap berkomunikasi secara baik dengan Gus Sholah, termasuk Khofifah.
Saat itulah para kiai NU pendukung Prabowo merapat pada Gus Sholah. Antara lain: Prof Ahmad Zahro, KH Agus Solachul Aam Wahib Wahab (Gus Aam), Choirul Anam (Cak Anam), KH Suyuti Toha, KH Lutfi Bashori. Yang disebut terakhir ini NU garis lurus.
Gus Sholah minta saya datang. Tapi – terus terang – saya mulai tak nyaman. Apalagi ketika pertemuan di Ndalem Kasepuhan Teburieng, aroma Prabowo benar-benar merebak. Forum mulai terasa tidak sehat. Padahal Gus Sholah ingin forum itu benar-benar netral. Seingat saya, saat itu forum belum diberi nama.
Tapi saya tetap ikut. Bahkan saya diminta bicara. Saya bicara agak terakhir setelah dipaksa oleh teman-teman barisan Gus Sholah. Intinya saya mengatakan, bagaimana kita bisa bicara khitah NU, kalau isi pembicaraan dalam KKNU ini masalah pilpres.
Saya juga menyikapi secara sarkastis terhadap para tokoh dan kiai yang mau menggiring gerakan moral kultural Gus Sholah itu ke Pilpres. “Ada tiga orang yang kehilangan akal sehat,” kata saya saat itu. Puluhan kiai yang memenuhi ruangan Ndalem Kasepuhan Tebuireng memperhatikan saya.
“Pertama, orang yang lagi jatuh cinta. Kedua, orang gila. Ketiga, pendukung capres,” kata saya. Peserta yang netral tertawa. Sedang pendukung Prabowo cemberut.
Gus Sholah menyadari bahwa forum sudah tak netral. Karena itu Gus Sholah minta saya aktif mengikuti pertemuan itu. Maksudnya, agar gerakan moral itu tetap terjaga, netral, tak didominasi kelompok pro Prabowo. “Harus diperbanyak peserta dari kubu Jokowi agar imbang,” kata Gus Sholah kepada saya.
Gus Sholah memang tak mendukung Prabowo. Juga tak mendukung Jokowi. Saat itu yang dipikir Gus Sholah hanya NU. Sikap ini kian jelas ketika Gus Sholah menjelaskan kepada saya tentang pemilihan ketua umum PBNU dalam Muktamar mendatang.
Menurut Gus Sholah, pemilihan ketua umum PBNU tak bisa lepas dari keterlibatan pihak Istana. Dan dari dua capres itu (Jokowi dan Prabowo), kata Gus Sholah, tak ada yang bisa diharapkan untuk memperbaiki NU. “Kalau Jokowi yang terpilih ya tetap seperti sekarang, tapi kalau kita pilih Prabowo terlalu mahal harganya untuk NU,” kata Gus Sholah. Maksudnya, karena pendukung Prabowo adalah kelompok Islam aliran keras.
Karena itu - sekali lagi - Gus Sholah memilih netral. Yang dipikirkan Gus Sholah hanya NU bebas dari money politics dan politik praktis. Gus Sholah ingin tiga tujuan NU tercapai. Pertama, ajaran Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) Annahdliyah, terutama sesuai pemikiran Hadratussyaikh, terjaga dan berkembang.
Kedua, warga NU meningkat secara ekonomi, intelektual, dan moral. Ketiga, pesantren berkembang dan maju berkat kepedulian NU.
Nah, kita kembali pada tulisan Kiai Imam Jazuli. Pantaskah, gerakan moral Gus Sholah dan para kiai – termasuk Kiai Afifuddin dan Kiai Azaim Ibrahimy – itu dicap sebagai Neo Khawarij NU? Tepatkah kita, menjuluki para kiai NU – terutama Gus Sholah, Kiai Afifuddin, Kiai Azaim Ibrahimy dan kiai lain – sebagai kelompok Neo Khawarij NU hanya karena mereka berbeda pendapat dan kritis kepada PBNU?
Terbayangkah, bagaimana perasaan para santri dan alumni pesantren mereka ketika para kiai panutannya dicap Neo Khawarij NU? Bagaimana dengan para kiai yang tak sejalan dengan PBNU tapi diam tak bersuara karena merasa sudah terwakili gerakan Gus Sholah dan para kiai?
Karena itu saya menilai tulisan Kiai Imam Jazuli itu hiperbolik, lebay, dan tidak didasarkan pada data dan informasi valid dan akurat. Buktinya, Kiai Imam Jazuli menyebut bahwa mereka adalah “segelintir kiai NU mengatasnamakan NU garis lurus dan berubah wujud menjadi Komite Khitah 1926”.
Ini jelas tak masuk akal, baik secara logika maupun fakta. Bagamana mungkin Kiai Afifuddin Muhajir yang kini tercatat sebagai Rais Syuriah PBNU dikategoikan NU garis lurus. Dari mana nalarnya, Gus Sholah dan Kiai Azaim distigma sebagai NU garis lurus.
Saya menilai bahwa Kiai Imam Jazuli telah terperangkap pada sikap dan pemikiran politik “sektarian” dalam kerangka mikro NU. Ini tentu sangat bahaya, karena memandang sesama kader NU yang berbeda pandangan sebagai musuh.
Menjustifikasi para kiai NU yang beda pendapat dengan stigma Neo Khawarij NU sangat tidak pantas dan tidak elok, karena Khawarij identik dengan aksi kekerasan dan kekejaman. Sejak kapan NU jadi eksklusif, tidak memberi ruang berbeda pendapat dan munculnya kritik?
Yang juga perlu dipahami, pandangan dan sepak terjang Prof Dr Rochmat Wahab dan KH Agus Solachul Aam Wahib Wahab (Gus Aam) tidak otomatis identik gerakan moral Gus Sholah. Apalagi ketika Gus Aam mengklaim KKNU sebagai ormas berbadan hukum setara PBNU dan anjangsana ke Petamburan mendukung Habib Rizieq Shihab.
Sikap Gus Sholah tegas. Gerakan moral NU tak perlu dilembagakan. Bahwa setelah Gus Sholah wafat ada orang yang menyelewengkan gerakan moral berubah menjadi gerakan politik, tentu di luar cita-cita Gus Sholah. Karena itu wajar, jika Kiai Azaim Ibrahmy, Kiai Nashihin Hasan, Gus Ahid, dan tokoh-tokoh lain memberi pernyataan tertulis bahwa mereka menolak masuk dalam kepengurusan KKNU.
Jadi - sekali lagi - gerakan moral dan kultural tak perlu dilembagakan. Wallahua’lam bisshawab.