Pernah Tak Lulus Tes Perguruan Tinggi, Mahasiswi Berjilbab Ini Kuasai Kultur Jaringan Porang
Editor: MMA
Sabtu, 03 September 2022 08:50 WIB
Hampir saja Rani tidak lulus lagi.
Tiga gelombang pengumuman tidak menyebutkan namanyi. Baru di gelombang terakhir sejumlah calon mahasiswa yang sulit lulus itu diminta membuat karya tulis. "Saya menulis tentang kelapa sawit. Bahan saya ambil dari internet. Saya diterima," katanyi.
Dari perkuliahan di Magelang Rani tahu salah satu dosennyi ahli kultur jaringan: Pranowo. Sampai pun dia tahu Pranowo tidak hanya ahli ilmunya tapi juga ahli membuat uang dari ilmu itu.
Pranowo memang dikenal sebagai pengusaha bibit anggrek berbasis kultur jaringan. Pranowo sukses di bisnis itu.
"Kok di Sulsel belum ada pengusaha kultur jaringan ya. Saya pun ingin tahu," ujar Rani. Dia pun minta untuk bisa belajar di laboratorium kultur jaringan milik dosennyi itu.
"Waktu itu bulan puasa. Rani ingin memulai setelah Lebaran. Saya pikir paling cepat 10 hari setelah Lebaran," kisah Pranowo. "Lima hari setelah Lebaran dia sudah datang," ujar Pranowo. "Berarti anak ini punya kemauan keras," tambahnya.
Kebetulan ada Covid. Perkuliahan berubah ke online. Rani memanfaatkan waktu pandemi untuk tenggelam di lab. "Pernah sampai jam 2 malam," katanyi.
Waktu itu harga porang lagi gila-gilaan. Minat menanam porang meluas. Pun sampai Sulsel. Harga bibit porang melonjak sampai Rp 150.000/kg. Belum ada teknik kultur jaringan di porang. Rani pun masuk ke sana.
"Itulah kali pertama saya dengar nama porang," ujar Rani mengenang.
Dua tahun kemudian Rani sudah menguasai kultur jaringan porang. Sudah sering diminta jadi penceramah bidang itu. Termasuk di seminar nasional seperti kemarin.
"Berapa nilai penampilan Rani kemarin?" tanya saya kepada dosennyi itu.
"Sebenarnya saya ingin memberi nilai 9. Tapi saya turunkan jadi 8,5," ujar Pranowo.
"Anak ini rajin. Saya tidak pernah menyuruh ke laboratorium. Tetap saja setiap habis salat Subuh pasti sudah ke laboratorium," kata Pranowo.
Ia tahu itu. Pranowo sendiri biasa ke lab pukul 06.00. Selalu saja sudah ada botol-botol kontaminasi. Lalu ada material yang akan diperiksa di lab.
Kelebihan lain Rani, katanya, dalam hal membaca. Ini jarang dilakukan oleh mahasiswa Polbangtan. Terutama membaca buku dalam bahasa Inggris. "Dia juga membaca buku-buku saya yang dalam bahasa Inggris. Lalu membuat ringkasannya," kata Pranowo.
Itu jelas merupakan hasil pemanfaatan waktu Rani yang baik setelah tidak lulus tes masuk dulu.
Rani masih berniat mendalami kultur jaringan satu tanaman pangan lagi: bawang putih. "Lebih sulit tapi menantang," katanyi. "Ternyata sulit sekali untuk mendapatkan embrionya. Embrio itu ada di daging bawang putih," katanyi.
Bibit bawang putih sangat mahal. Bisa antara Rp 40.000 sampai Rp 50.000. Per kilogram. Padahal tiap tahun diperlukan lebih 50 juta bibit bawang putih. Begitu banyak bawang putih yang terpakai untuk bibit.
Kalau saja Rani berhasil lagi, tentu problem nasional bawang putih akan teratasi. Tapi Rani tetaplah Rani yang masih mahasiswi: apakah sudah tepat kalau harus mendapat beban seperti itu.
"Kalau saya, demi anak-anak didik, penginnya mereka nanti jadi pengusaha yang ilmuwan atau ilmuwan yang jadi pengusaha." (Dahlan Iskan)