Dahlan Iskan Tak Bisa Dirikan Koran di Denpasar Bali, Banjarmasin dan Bandung, Kenapa?
Editor: MMA
Sabtu, 18 Juni 2022 08:29 WIB
Di Unlam kak Alwy jadi aktivis mahasiswa. Ia terpilih jadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Pidatonya selalu menarik. Dalamnya pengetahuan agama cocok untuk lingkungan Banjarmasin.
Setelah jadi ketua senat, Kak Alwy terpilih lagi menjadi ketua Dewan Mahasiswa Unlam. Ia jadi aktivis. Nama Alwy As sangat terkenal. Sebagai aktivis mahasiswa kak Alwy juga sering memimpin demo. Bahkan tidak lama setelah meletus G-30-S/PKI, Kak Alwy mendirikan KAMI - Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Kalsel. Di sini Kak Alwy mengenal tokoh-tokoh nasional KAMI seperti Willy Karamoy, Nono Anwar Makarim, dan Ismet Hadad –yang kelak jadi mentor saya juga.
Selama di KAMI itulah Kak Alwy mendirikan buletin mingguan KAMI. Isinya: mengganyang PKI dan Orde Lama. Menjatuhkan Bung Karno. Karena rajin demo, Kak Alwy sering ditahan tentara. Sampai tiga kali –yang pertama selama 40 hari.
Waktu itu di Jakarta sudah berdiri Harian KAMI. Dipimpin Nono Anwar Makarim –ayahanda Mendikbud sekarang. Sudah berdiri pula Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Pimpinannya sama: Nono Anwar Makarim. Kakak saya, Sofwati, juga aktif di IPMI –belakangan mengajak saya bergabung ke situ.
Dari bentuk buletin stensilan, Kak Alwy mendirikan harian Mimbar Mahasiswa di Banjarmasin. Ikut saja yang dilakukan Nono Makarim di Jakarta. Di Mimbar Mahasiswa, Kak Alwy punya dua wartawan yang hebat: Djok Mentaya dan Anang Adenansi. Mereka dua mahasiswa asli Banjar.
Kak Alwy pun kian jadi tokoh muda ternama di Banjarmasin. Nama Alwy As sudah jadi jimat. Sampai-sampai jarang yang tahu kalau ''As'' di belakang nama Alwy itu kependekan dari Alaydrus.
Seperti juga Nono dan Ismet, Alwy memang keturunan Arab.
Begitu seriusnya jadi aktivis, kuliah kak Alwy sendiri ''telantar''. Sudah delapan tahun belum juga lulus. Tinggal skripsi sebenarnya –tapi tidak kunjung selesai. Kelak, ia baru jadi sarjana setelah pindah lagi ke Samarinda. Ia dipaksa oleh rektor Universitas Mulawarman Samarinda: Sang legendaris Sambas Wirahadikusumah.
Kak Alwy memang meninggalkan Banjarmasin. Suatu hari kak Alwy bertemu tokoh Banjarmasin yang lagi menjabat gubernur baru Kaltim: Brigjen A Wahab Syahrani. "Ikam bulik Samarinda lah. Bantu aku," ujar sang gubernur.
Maka Kak Alwy pulang ke Samarinda. Tanpa ijazah sarjana. Gubernur ingin Alwy mendirikan koran baru di Samarinda. Yang seirama dengan misi Orde Baru.
Sebenarnya sudah banyak koran mingguan di Samarinda. Tapi semuanya milik tokoh nasionalis yang juga Sukarnois.
Maka didirikanlah harian Mimbar Masyarakat –mirip Mimbar Mahasiswa yang ia dirikan di Banjarmasin.
Saya baru tahu sekarang ini cerita seperti itu. Nasib Mimbar Mahasiswa sendiri, sepeninggal kak Alwy, kurang baik. Pecah. Bertengkar. Antara Djok Mentaya dan Anang Adenansi.
Rupanya diperlukan satu orang Bugis untuk menengahi dua orang Banjar yang hebat-hebat.
Nono Makarim turun tangan. Alwy dipanggil ke Banjarmasin. Akhirnya diambil keputusan tegas. Ditenderkan secara kekeluargaan: siapa di antara dua tokoh itu yang mau menjadi pemilik Mimbar Mahasiswa. Tentu dengan membelinya. Uang hasil penjualan dibagi rata.
Djok Mentayalah yang punya uang. Djok yang membelinya. Yang kelak nama Mimbar Mahasiswa itu ia ubah menjadi Banjarmasin Post.
"Dua orang itu memang berbeda aliran," ujar Kak Alwy mengenang. "Djok itu berorientasi bisnis. Anang itu idealis," tambahnya.
Banjarmasin Post berkembang menjadi koran terbesar di Kalsel. Anang Adenansi belakangan juga mendirikan koran sendiri: Media Masyarakat. Tidak pernah bisa mengalahkan B-Post.
Anang sendiri tidak terlalu fokus di media. Ia jadi politisi. Jadi tokoh Golkar. Jadi anggota DPR.
Djok, yang lahir di Mentaya, fokus di bisnis.
Zaman itu banyak tokoh mahasiswa mendirikan koran di daerah masing-masing. Rahman Tolleng bikin Mimbar Demokrasi di Bandung. Agil Haji Ali mendirikan Mingguan Mahasiswa di Surabaya –kelak menjadi harian Memorandum dan diserahkan ke saya. Tokoh mahasiswa Makassar, Alwy Hamu mendirikan harian Fajar –kelak juga diserahkan ke saya.
Hubungan istimewa Djok Mentaya dengan kak Alwy itulah yang membuat saya tidak berkutik. Biar pun saya berhasil mendirikan koran baru di banyak kota di Indonesia saya tidak bisa masuk Banjarmasin. "Dahlan, ikam jangan bikin koran di Banjarmasin lah," pinta Djok pada saya. Ia tidak ingin B-Post punya pesaing kelas berat.
Saya baru berani mendirikan koran di Banjarmasin setelah Djok sendiri menjual B-Post ke Kompas. Telat. Gara-gara tenggang rasa dengan teman itu saya telat masuk Kalsel. Saya pun tidak pernah berhasil mengalahkan B-Post.
Kisah yang sama terjadi di Denpasar, Bali, dan di Bandung. Saya tidak bikin koran di dua kota itu. Saya diwanti-wanti teman sekelas saya yang jadi wartawan di Bali Post: jangan bikin koran di Bali. Saya juga diminta pak Atang Ruswita, pendiri Pikiran Rakyat yang saya hormati, agar jangan masuk Bandung.
Itulah sebabnya saya juga telat bikin koran di Bali dan Bandung. Yakni setelah teman sekelas saya itu tidak bekerja lagi di Bali Post. Juga setelah Pak Atang Ruswita meninggal dunia.
Kini persaingan seperti itu tidak diperlukan lagi. Yang menyaingi dan yang disaingi sudah sama-sama sulit. (*)