Putusan Isbat Seharusnya Mengikat | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Putusan Isbat Seharusnya Mengikat

Editor: MMA
Senin, 04 April 2022 08:14 WIB

Prof Dr KH Imam Ghazali Sadi, MA. Foto: bangsaonline.com

Memang seharusnya tegas dengan tidak mengomentari keputusannya sendiri. Ini harus dilakukan karena masing-masing aliran dalam organisasi Islam mengakui kaidah: ”Hukmu al-hakim yarfa’ al-khilaf, keputusan hakim/penguasa menghilangkan perbedaan pendapat”. Semua individu harus terikat pada tersebut.

Jika ini dilakukan, berarti kaum Muslim Indonesia mampu menghormati otoritas negara yang kita pilih sesuai mekanisme demokrasi yang sehat. Jika kita biarkan seperti yang biasa terjadi dalam sejarah perjalanan ”per-isbat-an”, maka bangsa ini layak dikatakan sebagai kategori bangsa yang anarkis, tak mau diatur dan membangkang dengan cara melucuti otoritas negara.

Keadaan demikian, sama dengan tidak adanya loyalitas pada negara. Ini berarti—secara substansial—negara berada di ambang kehancuran, itu tentu tidak kita inginkan. Harus diingat bahwa lingkup isbat Pengadilan Agama (PA) juga mencakup isbat nikah, nasab, dan lain-lain. Jika isbat terakhir ini tidak mengikat, maka negeri ini tidak punya kepastian hukum.

Otoritas Hakim

Selama ini pemegang otoritas negara yang diekspresikan dalam , dipegang oleh . Ini bisa dibenarkan, karena menjadi atasan Pengadilan Agama (1946-2006). Para hakim agama yang menyumpah perukyat yang berhasil melihat hilal di lokasi rukyat langsung bersidang dengan menyumpah mereka sesuai hukum acara pengadilan. Hasilnya, dikirim ke yang dipimpin oleh di Jakarta. Laporan dan penyumpahan hakim tersebut menjadi pertimbangan untuk diterima atau ditolak.

Setelah Pengadilan Agama diintegrasikan ke Mahkamah Agung sesuai Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, maka otoritas negara dalam hal isbat seharusnya berada di tangan Ketua MA. Sebab, dalam sistem ketatanegaraan kita, setelah berlaku efektifnya dua UU tersebut masuk dalam lembaga eksekutif yang tak punya wewenang dalam . Isbat menjadi otoritas hakim sebagai lembaga yudikatif. Karena itu, ke depan harus segera diambil langkah-langkah pengalihan wewenang dan otoritas isbat dari ke Ketua MA.

Jika dua UU tersebut masih memberi otoritas isbat pada , maka UU ini harus direvisi sebab –dalam sistem ketatanegaraan modern– tidak bisa berperan ganda; sebagai lembaga eksekutif dan yudikatif sekaligus. Dengan demikian, ke yang dipimpin Ketua MA secara struktural tersambung dengan hakim-hakim agama yang melakukan penyumpahan di lapangan. Sebagai lembaga yudikatif MA -secara teoritik- akan steril dari kepentingan politik dan aliran keagamaan. Dalam arti, keputusannya diharapkan murni sebagai putusan hukum.

Pengalihan otoritas ini juga akan bebas dan tidak terikat pada kesepakatan MABIMS tentang ketinggian hilal 2°+ di atas ufuk masuk kategori hilal yang dapat dirukyat sebagaimana keputusan yang diambil pada tahun tahun 2001. Dengan demikian, lebih berkualitas dan memenuhi pengertian isbat secara sempurna seperti yang dimaksud dalam kaidah fikih ”Keputusan hakim menghapus perbedaan pendapat.”

Jika substansi gagasan ini disepakati sekaligus diterima serta semua pihak rela memberikan otoritas ikhbar dan isbat-nya pada keputusan MA, maka perdebatan tentang penentuan awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha dapat diakhiri. Sebab yang dilakukan MA mengikat semua pihak; dan bagi yang tidak taat pada keputusan tersebut dapat dikategorikan sebagai pembangkang. Itu yang terjadi di negara-negara mayoritas muslim seperti Malaysia dan negara-negara di Timur Tengah yang juga menganut pola ideologi nation state seperti Indonesia. Gagasan ini perlu tanggapan dialogis terutama oleh pemegang otoritas isbat dan ormas yang selalu merasa tidak terikat seperti MD, , Naqsyabandiyah, dan lain-lain.

Wallahu A’lam.

Penulis Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video