Pengepul Suara Pilkada 2020 di Gresik Banderol Rp 50-100 Ribu per Suara

Pengepul Suara Pilkada 2020 di Gresik Banderol Rp 50-100 Ribu per Suara ilustrasi

GRESIK, BANGSAONLINE.com - Praktik money politics () sangat susah dihindari pada perhelatan Pilkada, Pileg, maupun Pilpres, termasuk Pilkada Gresik 2020, mendatang. Terlebih, Pilkada digelar saat kondisi ekonomi masyarakat Gresik terseok dampak pandemi Covid-19 yang sudah berjalan 6 bulan ini.

Sejumlah sumber dari tim dan relawan pasangan bakal calon bupati (bacabup) dan bacawabup Pilkada Gresik 2020 kepada BANGSAONLINE.com mengakui, bahwa praktik money politics untuk Pilkada Gresik 2020, sangat susah untuk dihindari.

"Ini bisa kami buktikan saat kami mendata calon pemilih untuk paslon kami di Pilkada 2020. Mayoritas tanya, ada uang saku untuk ke tempat pemungutan suara (TPS) atau tidak," ungkap sumber pada BANGSAONLINE.com, Sabtu (22/8).

Data yang dihimpun BANGSAONLINE.com menyebutkan, pemilih yang berorientasi uang di 18 kecamatan se-Kabupaten Gresik masih sangat banyak. Bahkan, saat ini telah banyak muncul pengepul-pengepul (broker) suara coblosan untuk Pilkada Gresik 2020. Mereka secara terang-terangan menawarkan suara. Tak tanggung-tanggung para pengepul ini membanderol antara Rp 50-100 ribu per suara.

"Kalau di Kecamatan Duduksampeyan para pengepul sementara ini pasang bandrol Rp 50 ribu per suara. Tapi kalau paslon sama-sama berebut suara, tarif bisa naik 100 ribu per pemilih," ungkap sumber tersebut.

Mereka siap mencarikan suara berapa pun sesuai pesanan. Diungkapkan dia, dari 23 desa di Kecamatan Duduksampeyan, saat ini ada 19 desa yang pengepulnya siap mencarikan suara.

Serupa dikatakan Jhony, bukan nama sebenarnya, warga yang tinggal di Kecamatan Benjeng. Ia mengakui bahwa praktik money politic tak bisa dihindari dalam coblosan Pilkada 2020.

"Tak bisa dihindari. Ini sudah tradisi setiap pemilu," ungkap Jhony kepada BANGSAONLINE.com, Sabtu (22/8).

Ia kemudian menyontohkan pada Pilkada 2015, warga pemilih di desanya mendapatkan ongkos nyoblos dari salah satu paslon. Besarnya Rp 40 ribu per pemilih, ditambah nasi kotak. Uang diberikan sebulan sebelum coblosan lewat broker (pengepul).

Sedangkan pada Pilkada 2020 ini, diperkirakan harga ber suara naik. Minimal 50 ribu per pemilih. Bagi paslon yang ingin mendapatkan suara pemilih di desanya, paslon yang lebih cepat mengumpulkan warga dan memberikan uang yang dapat.

"Kalau sudah dikasih uang paslon tertentu, maka paslon lain yang ingin masuk tak bisa. Mereka sudah tak mau," ungkapnya.

Jhony mengungkapkan, saat ini di desanya ada sekira 2.000 lebih pemilih. Hingga saat ini dari 2 paslon yang bakal maju pada Plkada Gresik 2020, baik pasangan Moh. Qosim-Asluchul Alif (QA), maupun Fandi Akhmad Yani-Aminatun Habibah (Niat), belum satu pun yang mengumpulkan warga untuk sosialisasi.

"Belum ada. Kemarin sempat ada, tapi setelah ditanyakan kepastian ada uang saku ke TPS, tak ada kabar lagi," pungkasnya.

Merujuk data sementara di KPU Gresik, bahwa jumlah pemilih pada Pilkada Gresik 2020 sekira 940 ribu pemilih. Jika paslon ingin menang pada Pilkada Gresik 2020, maka sedikitnya harus bisa meraup 500 ribu suara. Dengan catatan, 940 ribu pemilih tersebut semuanya mencoblos atau menyalurkan hak pilihnya di TPS.

Dengan begitu, apabila 500 ribu suara itu bisa dijual semua dengan harga Rp 50 ribu per pemilih misalnya, maka paslon harus menyiapkan uang Rp 25 miliar.

Ketua KPU Gresik, Achmad Roni menyadari bahwa money politic dilarang, tapi praktiknya sangat sulit untuk dihindari. Namun demikian, lanjut Roni, KPU Gresik akan terus melakukan upaya edukasi kepada pemilih, tentang pentingnya berdemokrasi secara cerdas.

"Di sisi lain, KPU juga akan terus mengimbau kepada peserta (paslon) untuk tidak bertarung dengan cara yang tak elegan," katanya.

Senada, Anggota KPU Gresik, Makmun mengakui, salah satu tantangan Pilkada 2020 adalah money politics. Sebab, money politics yang membuat Pilkada menjadi bersifat transaksional. Hal ini merupakan penyakit pemilu dan pemilihan yang harus diperangi bersama sama.

"Yang dilakukan oleh KPU adalah mendidik pemilih. Karena selain bangsa kita masih dalam masa transisi demokrasi, pemilih kita masih belum sepenuhnya menggunakan rasionalilitas dalam menentukan pilihan," pungkasnya. (hud/ns)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO