Gegara Rayuan Istri, Adam Dideportasi dari Surga, Tafsir Al-Quran Aktual HARIAN BANGSA

Gegara Rayuan Istri, Adam Dideportasi dari Surga, Tafsir Al-Quran Aktual HARIAN BANGSA Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'i, M.Ag

Kalau pakai fi’il, maka menunjukkan perbuatan, di mana perbuatan tersebut bisa dilakukan cuma sekali atau lebih. Juga bisa dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja. Sedangkan bentuk isim menunjukkan makna profesi atau sudah kebiasaannya. Sudah merupakan sifat yang melekat pada diri sang pelaku.

Jadi, bila Adam A.S. dikatakan sebagai “asha”dan“ghawa, maka maknanya adalah bahwa nabi Adam A.S. memang melakukan pelanggaran, mengonsumsi buah khuldi. Tapi itu hanya sekali dan tidak sengaja atau benar-benar lupa. Konsekuensinya, “dosa” yang dia sandang sangatlah ringan atau bahkan tidak berdosa. Makanya, Tuhan tidak mengatakan Adam sebagai “Ashi” dan “ghawi”.

Jika pakai kalimah isim fa’il: Ashi” dan “ghawi, maka maknanya adalah: memang Adam pelanggar, orang yang perilakunya melanggar, biasa melanggar dan seterusnya. Seperti, kalimat: “Si Fulan mencuri”, tentu tidak sama dengan kalimat: “Si Fulan pencuri”. Koruptor tentu lebih dekil maknanya dibanding korupsi. Begitu linguistik versi bahasa Arab.

Lalu, pada ayat kaji ini Tuhan menegaskan sanksi yang diterapkan kepada Adam akibat dari pelanggarannya tersebut. “Keluarlah kalian dari surga ini” (ihbitha minha jami’a). Keduanya diusir, baik Adam maupun Hawwa’,  istrinya, dengan dalalah mutsanna, “ihbitha” pada ayat tersebut.

Artinya, Tuhan hanya melihat kenyataan perbuatannya saja. Yang jelas Adam melanggar dan Hawwa’ juga melanggar, tidak peduli siapa yang memprovokasi dan siapa yang diprovokasi.

Ya, karena dalam kisah israiliyat, katanya Hawwa’ yang pingin banget mengonsumsi buah khuldi itu, namun Adam tidak mau, justru malah mengingatkannnya. Tapi sifat wanita, seperti sedang nyidam (keinginan memuncak yang tak terbendung saat hamil), Hawwa’ terus merayu dan merengek. Akhirnya Adam memelas menuruti.

Perkara nanti dibedakan jenis hukumannya, maka itu soal kebijakan manusia berdasar maslahah. Ini wilayah hakim dan agama membolehkan. Keputusan hakim yang memberatkan otak sebuah kejahatan, dalang, inisiator, provokator harus berdasarkan pertimbangan maslahah yang nyata. Tapi, sekali lagi, hukuman mesti menimpa pelaku di lapangan. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO