Menelusuri Jejak Syekh Bela Belu di Bumi Kediri, Putra Raja Terakhir Majapahit

Menelusuri Jejak Syekh Bela Belu di Bumi Kediri, Putra Raja Terakhir Majapahit Dukut, menunjukkan bangunan yang diyakini sebagai Mushola Syekh Bela-Belu di Hutan Kelir Dusun Igir-Igir Desa Joho, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. foto: MUJI HARJITA/ BANGSAONLINE

Mushola yang diyakini sebagai petilasan itu kini banyak didatangi orang, baik dari sendiri maupun luar kota. Bahkan dari luar Jawa serta luar negeri seperti Malaysia dan Singapura.

Sayangnya, akses menuju Mushola yang berada di tengah hutan sejauh sekitar 3 km itu masih sulit. Kondisi jalannya berbatu, meski masih bisa dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat. Hanya, untuk menuju Mushola , pengunjung harus berjalan kaki kurang lebih 1 km.

Diketahui, yang semula bernama Raden Jaka Bandem singgah di Kampung Kelir untuk beristirahat dan bersemedi, dalam rangka menyelamatkan diri. Sebab pada masa itu, kekuasaan semakin terdesak oleh berdirinya Kerajaan Islam di bawah Pemerintahan Raden Patah di Demak Bintoro.

Raden Jaka Bandem yang nama aslinya Raden Dandhun menempuh perjalanan menyusuri pantai selatan. Dalam perjalanan ke pantai selatan itulah, diyakini Raden Jaka Bandem pernah singgah di Kampung Kelir.

Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, mereka pun tiba di sebuah pantai yang bernama Parangtritis, dan mendirikan padepokan di daerah tersebut pada Puncak Bukit Pemancingan. Raden Jaka Bandem sendiri yang menjadi sesepuhnya.

Kemudian datanglah Syekh Maulana Maghribi di wilayah pantai selatan yang merupakan penyiar Agama Islam dari Kerajaan Demak dengan rajanya Raden Patah, yang akhirnya menetap dan mendirikan pondok pada Puncak Bukit Sentana.

Syekh Maulana Maghribi kemudian menyiarkan ajaran Agama Islam dan membuat banyak orang tertarik dan memeluk Agama Islam, termasuk Raden Jaka Bandem bersama seluruh pengikutnya.

Kemudian Padepokan Bukit Pemancingan berubah menjadi pondok dengan Raden Jaka Bandem sebagai sesepuh pondok, hingga akhirnya ia berganti nama menjadi .

Sejak muda memiliki kegemaran tirakat atau bertapa, namun dengan cara yang berbeda. Yaitu tetap melakukan kegiatan makan, bahkan berlebihan, di mana ketika nasi sudah habis maka dengan segera akan kembali menanak nasi, begitu terus berulang-ulang.

Syekh Maulana Maghribi pun sempat bertanya mengapa tirakat yang dilakukan tidak lazim. Menurut , cara masing-masing orang berbeda-beda dalam melakukan tirakat.

Kemudian, mengajak Syekh Maulana Maghribi yang merupakan gurunya untuk bertanding ilmu berdasar cara tirakat yang berbeda tersebut, untuk menguji siapakah yang lebih berhasil.

Salah satu jenis pertandingan adalah megadu kecepatan dalam jarak tertentu, yaitu dari Parangtritis sampai ke Masjid Mekkah. Pada akhirnya, memenangkan pertandingan tersebut, dan Syekh Maulana Maghribi mengakui kekalahannya. (uji/berbagai sumber)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'BI Kediri Gelar Bazar Pangan Murah Ramadhan 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO