​Bandar, Bandit, dan Badut dalam Panggung Politik Indonesia

​Bandar, Bandit, dan Badut dalam Panggung Politik Indonesia Dhiman Abror Djuraed. Foto: dok rmol

Karena peran para bandar itu, pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif maupun eksekutif sudah digadaikan (bailout) dengan agunan APBD dan anggaran negara dari duit rakyat. Kalau penggadainya adalah kepala pemerintahan, para bandar akan lebih mudah mendapatkan pembayaran dalam bentuk proyek. Kalau yang dibandari adalah anggota legislatif, para bandar mendapat imbalan dalam bentuk peraturan perundangan yang menguntungkan para bandar. Para bandar tidak akan pernah rugi karena para maling selalu lebih cerdik daripada polisi.

Para pemilih menjadi pragmatis dan rela melepas hak politiknya dengan imbalan puluhan ribu rupiah saja karena rakyat sudah kehilangan trust kepada sistem politik dan para politikus yang bermain di dalamnya. Rakyat memilih beli putus dengan sembako atau sarung karena tahu bahwa para wakil rakyat itu hanya akan datang lima tahun sekali. Karena itu, ketika para politikus tersebut mengobral janji pada masa kampanye, rakyat tertawa saja dan menganggap mereka sebagai badut.

Aktor politik lain yang menguasai politik Indonesia adalah para bandit. Mereka ini menjadi perantara yang mempertemukan bandar dengan para politikus badut. Pada bandit itu bisa me-nyaru sebagai tim sukses yang bakal menjadi tim bayangan yang mengendalikan pemerintahan. Sebagai imbalan sukses, tim bandit itu diberi peran informal, tapi sangat menentukan dalam mengatur proyek-proyek pemerintahan.

Trio bandar, bandit, badut itu menjadi pemain utama pada panggung politik nasional Indonesia selama 20 tahun terakhir. Mereka merajalela dan merajatega dalam 20 tahun terakhir, tetapi sebenarnya mereka lahir dari politik otoriter selama 30 tahun masa kekuasaan Orde Baru. 

Para bandar besar itu merupakan produk kebijakan ekonomi Orde Baru yang memelihara beberapa gelintir konglomerat dan membesarkan mereka dengan memberi berbagai konsesi proyek-proyek besar. Para bandar itu mendapatkan konsesi untuk menebangi jutaan hektare hutan dan menggali sumber daya alam jutaan meter kubik. Para bandar tersebut menguasai lahan jutaan hektare dan bebas melakukan apa saja terhadapnya.

Para bandar itu didesain untuk menjadi crazy super rich yang menguasai oligopoli dan monopoli berbagai industri. Mereka dijadikan sekaya-kayanya sampai tidak mampu lagi menyimpan kekayaannya dan kemudian kekayaan itu meluber ke bawah. Remeh-remeh luberan kekayaan itulah yan diharapkan menetes ke bawah kepada rakyat miskin. Efek luberan itu disebut “trickle down effect” yang menjadi strategi pembangunan ekonomi andalan Orde Baru. Para bandar tersebut menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang cukup mangkus sehingga bisa tumbuh sampai rata-rata 7 persen dan menjadi legitimasi utama pemerintahan Orde Baru. Tapi, ketika krisis ekonomi terjadi, legitimasi ekonomi rezim Soeharto ambruk dan ambruk pula kekuasaan Soeharto karena tiang dan pilar ekonomi sudah ambruk lebih dahulu.

Para yang bermunculan di panggung politik nasional sekarang ini kebanyakan adalah stok lama sisa-sisa Orde Baru. Para politikus itu sudah terlatih menjadi badut selama 30 tahun masa Orde Baru. Mereka menjadi politikus badut karena kerjaannya hanya membadut mendukung kekuasaan. Partai politik ada, tapi parpol badut. Parlemen juga ada, tapi menjadi parlemen badut.

Para badut itu menjadi bagian dari korporatisme negara karena semua kekuatan civil society sudah terkooptasi negara. Semua tingkah polah para politikus badut itu dikontrol dan dikendalikan rezim. Tradisi politik badut tersebut berlangsung sampai sekarang dan malah jauh lebih badut daripada zaman Orde Baru.

Para bandit yang sekarang merajai politik nasional juga hasil didikan Orde Baru. Mereka adalah para elite social yang memimpin organisasi masyarakat, organisasi pemuda, berbagai lembaga sosial masyarakat, dan lembaga-lembaga keagamaan. Mereka menjadi bagian dari oligarki sosial yang dipelihara kekuasaan dengan memberi mereka berbagai konsesi ekonomi dan politik.

Para bandar mewakili oligarki ekonomi, para bandit mewakili oligarki sosial dan badut mewakili oligarki politik. Ketiganya berkolaborasi menjadi satu dan bersama-sama membajak demokrasi Indonesia yang kebablasan.

(Disway, Senin, 22 Februari 2021, Judul asli: Bandar, Bandit dan Badut)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sejumlah Pemuda di Pasuruan Dukung Muhaimin Maju Calon Presiden 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO