SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Hari ini, 14 Februari, 150 tahun lalu – tepatnya 14 Februari 1871, bayi Muhammad Hasyim Asy’ari lahir. Kelak, bayi yang lahir di Desa Keras, Kecamatan Diwek Jombang, dari pasangan KH Asy’ari dan Nyai Halimah itu menjadi ulama besar.
Muhammad Hasyim Asy’ari tidak hanya jadi ulama nasional tapi juga internasional. Ketika masih belajar di Makkah, Muhammad Hasyim Asy’ari sangat dihormati dan disegani karena ketinggian ilmu dan akhlaknya. Bahkan para ulama besar dan internasional kemudian memanggil Muhammad Hasyim Asy’ari dengan panggilan kehormatan: Hadratussyaikh. Sang mahaguru.
BACA JUGA:
- Temu Alumi Tebuireng, Gus Kikin: Kalau Tak Ada Resolusi Jihad Tak Ada Perang 10 November
- Aktivis NU Kultural ini Desak PKB Objektif soal Rekom pada Pilkada 2024 di Kabupaten Pasuruan
- Hardiknas 2024, ISNU Jatim Undang Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama Ikuti Workshop
- Pesan Gus Kikin untuk ISNU Jatim: Hadratusyaich adalah Ulama yang Unggul
Selain dikenal alim allamah, Hadratussyaikh juga popular sebagai tokoh kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan sejak di Makkah. Saat belajar di Makkah, Hadratussyaikh sering melakukan doa bersama di depan Ka’bah bersama para santri dan ulama asal Indonesia. Hadratussyaikh memohon kepada Allah SWT agar Indonesia segera merdeka dari penjajahan.
Hadratussyaikh juga mendirikan pesantren. Pesantren itu ia dirikan di kampung hitam. Penuh pencuri, perampok, penjudi, pezina, dan pemabuk. Namanya Pesatren Tebuireng. Kelak, pesantren ini tidak hanya jadi lembaga pendidikan Islam yang melahirkan para ulama besar (NU dan pesantren), tapi juga jadi markas para pejuang kemerdekaan RI.
Hadratussyaikh kemudian - atas inisiatif KH A Wahab Hasbullah –mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi terbesar abad ini.
Apa yang harus kita teladani dari Hadratussyaikh saat kita mengenang hari lahirnya? Tentu banyak. Apalagi saat krisis keteladanan seperti sekarang. Namun yang paling penting adalah sikap tawaddlu dan akhlak Hadratussyaikh terhadap guru.
Klik Berita Selanjutnya