Jangan Pilih Mafia Lingkungan

Jangan Pilih Mafia Lingkungan Suparto Wijoyo. foto: ist

Pemimpin itu musti selalu sadar bahwa orang-orang kebanyakan akan berpaling kepadanya untuk memperoleh kekuatan dan tuntunan seperti ditulis Ram Charan (2008). Pemimpin hadir dengan gerak lompatnya dalam melayani masyarakat. Lompatan yang terekam dalam gerakan rakyat lebih mendeskripsikan ruang juang yang tidak selalu linier, bahkan dalam bahasa Friedrich Nietzsche (1844-1900) di karyanya, Also Sprach Zarathustra, kata lompatan terbidik seitensprange – lompatan ke samping. Thomas L. Friedman dalam buku The World Is Flat mengisahkan tulisan temannya, Jack Perkowski, pimpinan dari CEO ASIMCO Technologies, seorang China yang mendapat pelatihan di Amerika – menuliskan pepatah Afrika yang diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin pada lantai pabriknya:

Setiap pagi di Afrika seekor gazelle (kijang) terjaga,

Ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat dari singa tercepat atau ia akan mati

Setiap pagi seekor singa terjaga

Ia tahu bahwa ia harus bisa mengejar gazelle terlambat atau ia akan mati kelaparan

Tidak peduli apakah kamu seekor singa atau seekor gazelle

Ketika matahari terbit, kamu harus mulai berlari

Dengan sawah yang kekeringan dan esok akan kebanjiran, pastilah sang pemimpin harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindar ataupun mengejar, tetapi berlari guna memenuhi hak rakyat agar sawah ladangnya tidak mengalami kekeringan, sekaligus berlari sebagai tanda penjagaan diri. Dalam batas ini, keterjagaan pemimpin adalah opsi tunggalnya. Kita semua memahami bahwa rakyat memilih seorang pemimpin untuk menjadi panjer pergerakan hidupnya agar mereka tidak gagal sebagai rakyat, apalagi gagal menentukan pemimpinnya. Dari Presiden sampai kepala desa yang telah dipilih rakyat, diniscayakan mampu memahami dan memaknai amanat demokrasi dengan penuh tanggung jawab. Berbagai program pembangunan sang pemimpin harus memberikan solusi tentang kiprahnya yang memanggul daulat rakyat secara terhormat.

Pemimpin harus merekonstruksi kembali kebijakannya kalau wilayahnya banyak mengalami kekeringan ataupun kebanjiran. Siapapun yang merasa menjadi pemimpin, pastilah terpanggil untuk membangun wilayahnya sesuai dengan kebutuhan publiknya. Pemimpin niscaya berkomitmen untuk berbuat kreatif-inovatif dan bermanfaat, sesulit apa pun kondisinya.

Hal ini mengingatkan saya pada surat-surat yang dibuat tentara Jerman ketika menyerbu Rusia di masa Perang Dunia II, yaitu Franz Schneiderdan Charles Gullansyang dihimpun dalam buku Last Letters from Stalingrad. Dalam situasi terkepung dan terjebak perangkap yang sangat mengerikan, tentara ini menulis surat: “… of course, I have tried everything to escape from this trap, but there only two ways left: to heaven or to Siberia …” Kemudian dia lanjutkan: “Waiting is the best thing, because, as I said, the other is useless.

Benarkah jalan terbaik bagi bangsa Indonesia yang sebagian dilanda bencana kekeringan di kala musim kemarau dan banjir di waktu penghujan, adalah menunggu seperti sang pasukan itu tanpa kreasi-inovasi? Seluruh pemimpin nasional kita pastilah menjawab tidak. Jawaban yang sudah cukup untuk mengenali kembali makna substansial yang harus dilakukan seorang pemimpin. Para calon kepala daerah berbaktilah untuk rakyatmu dengan menyelamatkan lingkungan wilayahmu. Selamat bertanding untuk bersanding.

Suparto Wijoyo adalah Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO