Kafir, Tak Pernah Berfikir Efek Masa Depan


“Wasaya’alm al-kuffar liman ‘uqba al-dar” (42). Dinasehati, agar seseorang tidak gegabah, tidak emosi, tidak menuruti nafsu sesaat, lalu melakukan perbuatan tercela. Akibatnya akan buruk dan menyesal.

Nasehat ini lebih ditujukan kepada kaum kafir, yaitu siapa saja yang mengingkari hari pembalasan, hari keadilan sejatinya, hari di mana segala perbuatan dinilai dan diberi imbalan sesuai porsinya. Orang kafir berbuat arogan dan puas sesaat, melampiaskan nafsu kebinatangan dan puas sesaatm bahkan yang diburu hanyalah yang sesaat-sesaat itu. Ya, karena pandangannya “kafir” (ingkar), mengingkari akibat di masa datang.

Tidak sama dengan beriman. Iman artinya percaya. Percaya akan adanya akibat, adanya konsekuensi dari segala apa yang telah kita perbuat. Dengan berpikir ke depan itu, sesungguhnya orang beriman itu orang cerdas memberdayakan daya pikirnya serta optimal memandang segala sesuatu secara luas dan menyeluruh.

Semua jenis perbuatan dosa, perbuatan maksiat pasti berumur sesaat dan semua perbuatan kebajikan pasti lebih abadi. Petani, pertanian sering dipakai tamsilan dalam wejangan AlQuran, karena petani berpikir ke depan. Memang bersusah susah menggarap tanah, memang tega membuang biji di dalam tanah. Semua itu karena yakin (beriman) bahwa ke depan akan menghasilkan panen raya. Seperti itulah gambaran keimanan kepada hari akhirat.

Di gedung Senayan pernah tejadi bincang-bincang kecil sebagian anggota DPR yang tidak terpilih karena suaranya lenyap. Si A berdialog dengan si B tentang perubahan posisi kursi di Dapilnya yang cukup cepat, sehingga mengakibatkan si A terpental dan si B yang masuk dan terpilih.

Lalu, si B terburu-buru meninggalkan majlis obrolan dengan menyisakan pertanyaan, “ada apa?”. Eh.., rupanya dia merasa kebusukannya tersindir, sehingga malu dilihat kawan-kawan sekitar.

Si D, seorang anggota yang bernasib sama tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang ditohokkan kepada penulis :”... begitu itu, lalu bagaimna hukum gaji yang diterima?”. Penulis menjawab “haram”. Si D menimpali :’ Ya, ya, saya setuju. Sebab itu kan bukan haknya. Hi hi., saya ngeri dengan itu”.

Ketahuilah, si D itu seorang wanita yang sedang menjadi anggota DPR RI dan suaranya amblas, tapi pasrah. Dia rajin salat dan kelihatannya bersih. Bahkan pernah menyampaikan kepada penulis bahwa dirinya tidak bisa menerima bunga bank sebagai halal. Uangnya disimpan dan dibelanjakan. Jika terpaksa harus via jasa bank, maka bunganya disedekahkan. Masih banyak anggota DPR yang seperti ini. Sementara si B yang nyolet, yang maling suara kawannya tersebut, itulah gaya kafir, meski dia beragama Islam.

Lain lagi dengan si Z, suaranya hilang dicuri teman sendiri (si Y). Dengan menunjukkan bukti sangat kuat, dia hendak menuntut melaui partai. Tapi, sang ketua partai tidak mau bertanda tangan mengabulkan gugatan si Z itu. Ya, karena si maling adalah kesayangan sang ketua.

Gagallah usaha si Z menuntut keadilan di tangan ketuanya sendiri dan keputusan tetap menang si Y. Senada dengan si Z, adalah si PM, yang andai jika menggugat, pastilah menang karena bukti sangat kuat dan cukup. Tapi dia abai dan pasrah :” percuma saja saya menggugat, pastilah si X (petinggi partai) tidak mau bertanda tangan. Biar saja Allah yang mengurus”.

Kata-kata itu bersayap, hingga menggelitik penulis untuk menggoda :” ..Maksudnya, semoga dia cepat mati, lalu kamu yang menggantikan, PAW begitu ?”. PM :”Kita tidak berdoa buruk kepada orang lain”. Penulis :” Ya, tapi jika itu terjadi ?”. PM, :”Ya gimana lagi, itu kehendak Tuhan dan saya tinggal njalanin aja”.

Sekedar informasi, :”Bahwa hak mengikuti pemilu adalah hak partai, bukan hak perorangan”. Jadi, jika partai menghendaki begini, maka tak ada hak apa-apa bagi pribadi. Sezalim apapun yang dilakukan partai, ya itulah keputusannya. Lalu, pada kasus ini yang kafir siapa, ketua partai atau si Y? Kerumunan segera bubar karena sidang paripurna segera dimulai. Semoga kita terhindar dari segala elemen kekufuran.

Bersyukurlah, Ketika Keberadaan Anda Tidak Diperhitungkan

“ Wa yaqul al-ladzin kafaru last mursala”. Ayat studi terakhir pada surah al-Ra’d ini merekam, bagimana orang-orang kafir terang-terangan mengolok-olok nabi Muhammad SAW sebagai bukan utusan Tuhan :” Hai Muhammad, kamu itu sesungguhnya bukan nabi dan bukan pula rasul utusan Tuhan. Sejatinya kamu tak lebih dari seorang pembual yang pandai mengibuli orang lain”.

Diolok demikian, nabi sama sekali tidak sakit hati, bahkan lebih gigih mencari jalan, bagaimana caranya mereka bisa cepat sadar dan mendapat hidayah. Tapi Tuhan justru datang memberi bekal jawaban :’ kafa bi Allah syahida bainy wa bainakum”.

Ya, soal hakikat kerasulan, memang tidak diperlukan legitimasi pengakuan dari kalian. Kalian beriman atau tidak sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi kerasulan. Boleh saja kalian berhasil mengusir diri Muhammad dari dunia ini, boleh saja menolak segala yang disampaikan Muhammad, tapi kalian tidak bisa menghapus eksistensi Muhammad sebagi utusan Tuhan.

Karena kerasulan adalah anugerah Tuhan dan hanya Tuhan yang berhak mengakui atau mengingkari kerasulan seseorang. Sang sufi memandang ayat ini sebagai wejangan resik ati.

Bahwa berbuat kebajikan atau meraih prestasi yang diperintahkan agama adalah ibadah berpahala. Pada saat seseorang telah menggenggam prestasi kebajikan, maka para syetan berusaha keras melepaskan kebajikan itu hingga sang pemilik tidak mendapatkan apa-apa.

Ada dua cara pelepasan yang biasa dilakukan syetan :

Pertama, dibanggakan hatinya, dipuji dan dielu-elukan. Seorang mukmin yag telah berprestasi dalam kebajikan, jiwanya dihiasi dengan rasa bangga diri, besar kepala, merasa layak mendapat penghormatan, sehingga suka sekali dipuji dan dielu-elukan.

Atau akan bersikap tidak simpati kepada anda jika anda sering mengkritik kekurangan dia. Nah, orang macam begini ini mudah terperosok dalam lembah riya’, pamer, sok baik yang merusak pahala amal sendiri. Dia buntung dan syetan beruntung.

Kedua, dihina, direndahkan dan dinafikan keberadaannya. Segala prestasi yang dia capai, segala jasa kebajikan yang telah dia berikan sama sekali tidak diakui. Seperti tertera para ayat studi ini, keberadaanMuhammad sebagai nabi beneran sama sekali ditampik mentah-mentah.

Nah, ini juga cara syetan merusak amal prestasi kita. Apa yang sudah pernah kita sumbangkan untuk agama, masyarakat sama sekali tidak diakui dan tidak dihargai apa-apa. Sufi itu tersemun lega. :”Alhamdulillah, aku bersyukur kepada orang yang tidak menghargai keberadaanku, tidak mengakui amal kebajikanku. Itusangat membantu aku menjauh dari perbuatan riya’, sum’ah (suka popularitas) dan ‘ujub (bangga prestasi sendiri).

Sejarah awal Islam mencatat ada enam orang yang secara diam-diam serius membantu nabi menyiarkan agama Islam di Makkah. Menjelang hijrah ke Madinah, enam orang ini menjalin hubungan dengan pembesar Madinah lewat para pedagang yang datang.

Komunikasi dibangun begitu mapan hingga Madinah benar-benar siap menerina kehadiran nabi. Sejarah mengakui keberadaan enam orang itu, tapi hingga sekarang tidak berhasil ditemukan identitasnya. Biasa, dalam sejarah perjuangan besar, sering kali ada pahlawan luar biasa yang tak tercatat, apalagi terkenal.

Ya, tidak apa-apa. Itu anugerah Tuhan dan itu lebih bagus. Boleh saja manusia luput mencatat, tapi Tuhan telah mencatat dan para malaikat sudah mengenali.

Ali Ibn Abi Thalib BukanPintu Ilmu

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO