Sumamburat: Memilih yang Paham Iklim

Sumamburat: Memilih yang Paham Iklim Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

PILKADA terus diselenggarakan dan saya selalu membanding di kala bertandang di banyak negara Asia, Eropa maupun Timur Tengah. Pergantian kepala daerah memang banyak mengeluarkan ongkos dan perubahan di mana-mana terus dikampanyekan dengan tetap saja ada kasunyatan bahwa setiap musim penghujan: jalanan rusak, sungai meluap, banjir menerjang, longsor menyerta, dan publik menggerutu tanpa daya. Mobilitas orang, barang dan jasa terganggu dengan kerugian yang mencapai triliunan rupiah. Kondisi ini terhelat dengan sangat kasat mata. Negara pun terlihat seperti tanah tak bertuan. Dalam kasus jalan berlubang-bergelombang, pemerintah pusat dan daerah disorot antara ada dan tiada. Konflik kewenangan dipamerkan di ruang ramai tanpa solusi berarti. Saksikanlah bagaimana jalanan rusak yang setiap hari diberitakan tetapi tidak membuat pejabatnya beranjak karena menyangkut permasalahan hukum pembagian wilayah: jalan kabupaten/kota, jalan provinsi dan jalan nasional.

Seluruh pengamal Pancasila mengerti bahwa hujan ataupun terang matahari itu nikmat dan anugerah, bukan laknat dan prahara.Kenapa di musim hujan hadir dengan menyuguhkan banjir, merusak infrastrukturtransportasi, dan gagalnya panen petani, sehingga menimbulkan sesal yang mengurangi rasa syukur atas karunia iklim tropis yang dibentangkan Tuhan. Problematika jalan berlubang sambung menyambung menjadi satu jalinan yang mengganggu kepentingan umum. Lantas apa yang dilakukan oleh pemegang otoritas negeri ini?

Kita terlalu abai atas kondisi ekologis meski meraih beragam penghargaan lingkungan. Telah dikisahkan potret perkotaan yang tengah mengidap penyakit kronis yang mendukacitakan. Daya tahannya terus melemah secara berlahan, tetapi pasti. Kota-kota metropolitan seolah mengerang sebelum akhirnya takdir membisikkan kekecewaan di tengah gemerlapnya mozaik gedung dan perkantoran. Perspektif yuridis menginformasikan betapa rapuhnya perlindungan lingkungan sewaktu berhadapan dengan investor. Konservasi perkotaan digerus secara terencana. Sungai-sungai sebagai urat nadi acapkali ditutup (box culvert) yang tidak sehaluan dengan wawasan go green. Biota air mati dan tanaman toga di sepanjang sepadan kali musnah tak berbekas.

Dalam kosmologi perkotaan jelas bahwa kondisi tersebut membutuhkan hadirnya seorang pemimpin Kabupaten/Kota atau Provinsi yang membangun wilayahnya berdasarkan pertimbangan iklim. Setiap daerah memerlukan pemimpin (leaders) yang mengerti sikon alamnya. Setiap daerah mutlak dikonstruksi menurut rambu-rambu iklimnya. Iklim dapat menjadi pijakan dalam merencakan pembangunan di setiap jengkal titik koordinat wilayah. Manusia tidak bisa melawan alam, tetapi menusia diamanati menjadi khalifah yang adaptif dengan kondisi alam.

Kini saya teringat referensi lama karya Matthew W. Kahn (2010), Climatopolis.Berbagai pustaka menunjukkan bahwa mengkonstruksi wilayah sesuai dengan kondisi iklim merupakan opsi utama yang searah dengan pembangunan polis (negara kota) sejak di era Yunani. Pembangunan negarakota inipada mulanya lahir sebagai wadah ajaran demokrasi, yang kini dikembangkan menjadi tipe idel tata kelola kota yang partisipatoris dengan pendekatan ekologis yang lazim disebut Pro Iklim. Model pembangunan ini berumpun dipembangunan berkelanjutan yang mengintegrasikan secara harmonis antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan. Sebuah wilayah yang dibangun anti iklim, yakinlah akan terjerumus menuju nekropolitan, yaitu kota kematian bagi warganya.

Dengan memperhatikan konsepsi tersebut, maka penyelenggaraan Pilkada serentak 2018 ini harus menjadi ajang pemilihan kepala daerah yang mengerti tentang iklim daerahnya. Jangan sampai Pilkada nanti memproduksi pemimpin daerah yang kalau di musim penghujan sibuk membenahi jalan, membangun tanggul, membersihkan gorong-gorong, sementara di musim kemarau sibuk menaman, dan rakor dari kantor ke kantor. Ini namanya pembangunan salah mongso, pembangunan yang cacat secara klimatologis.

Ingatlah bahwa pembagian penanganan jalan itu positif menurut skala besaran proyeknya, tetapi naif dalam perawatan dan penganggarannya. Berapa banyak orang yang telah celaka akibat jalan rusak, termasuk kematian yang merenggut dengan konsekuensi ekonomi keluarga yang terguncang. Rata-rata pengendara yang meninggal akibat jalan yang rusak adalah tulang punggung keluarga. Peristiwa ini butuh perhatian komprehensif para pemimpin nasional dan daerah dengan membuat program kerja berbasis iklim. Pola perencanaan pembangunan dan penganggaran yang bervisi klimatopolis saatnya direalisir agar pembangunan tidak selalu keliru cuaca. Kalaulah Pilkada 2018 tidak mengubah haluan pembangunan menurut iklim tropis yang ada, yakinlah seperti disindir oleh Samel C. Florman: plus la change, plus la meme chose – semakin berubah, semakin sama saja, lalu menunggu pilkada berikutnya. Capek rek?

*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO