Tafsir Al-Nahl 17-19: "Tuhan" Sebagai Nama Orang, Tidak Haram

Tafsir Al-Nahl 17-19: "Tuhan" Sebagai Nama Orang, Tidak Haram Pria di Banyuwangi yang bernama "Tuhan" menunjukkan KTPnya. (foto: tempo)

Larangan agama tentang nama yang menyaingi kebesaran Tuhan sungguh beralasan, masuk akal dan diterima tradisi. Logikanya kayak seragam militer atau polisi. Rakyat sipil, orang biasa tidak boleh memakai baju polisi lengkap dengan atributnya sebagai pakaian sehari-hari. Apalagi mengenakan baju jenderal, bisa-bisa berurusan ke pengadilan dan berujung ke penjara. Di sinilah, maka etika itu penting dan selanjutnya bisa menjadi aturan yang mesti ditaati.

Ketiga, soal nama pemberian orang tua. Ini alasan sangat sederhana sekali. Nama anak manusia sedunia ini bisa dikata semuanya ya pemberian orang tua. Bukan hanya cak Tuhan saja yang orang tuanya bisa memberi nama. Islam mengajarkan kita berbakti kepada orang tua. Itu benar dengan catatan jika orang tua kita benar. Kalau orang tua salah, maka kita justru dilarang patuh, wajib mengingatkan dan mengubahnya menjadi benar dengan cara yang benar. Itulah anak shalih yang benar. Justru kalau patuh dalam kesalahan, malah bukan anak shalih.

Andai dipaksa, kita harus menghindar bahkan melawan seperlunya jika terpaksa. Mengarahkan dan melawan ini juga perintah agama Islam, perintah Allah SWT. Dengan demikian, orang tua Cak Tuhan yang ternyata salah memberikan nama wajib dibetulkan. Jika masih hidup, maka orang tuanya yang mengubah. Jika sudah mati, maka Cak Tuhan yang wajib mengubah.

Apakah orang tua Cak Tuhan berdosa dengan memberi nama tersebut? Jika dia mengerti maksudnya, mengerti hukumnya dan sengaja, maka berdosa. Jika tidak, maka tidak berdosa. Jika ahli agama setempat sudah pernah mengingatkan dan orang tua tersebut membandel dan tidak mau mengubah, maka dia berdosa. Jika semua ustadz, guru, kiai atau ahli agama setempat tidak ada yang mengingatkan, maka merekalah yang berdosa.

Jika Cak Tuhan tidak mau, maka Cak Tuhan berdosa karena dia sudah mukallaf atau dewasa, sudah mengerti dan sudah diingatkan. Jika keadaan tetap begitu, maka Cak Tuhan adalah anak durhaka yang tega membiarkan kedua orang tuanya disiksa terus-menerus di alam kubur karena salah memberikan nama dan belum ditobati. Sepanjang kesalahan nama itu belum dibetulkan, maka orang tua Cak Tuhan tetap menanggung beban.

Andai Cak Tuhan tetap dan terus membandel, maka dianjurkan ada seseorang atau kelompok yang sukarela mengganti nama Cak Tuhan secara paksa walau Cak Tuhan tidak menerima dan memprotes. Contohnya, ada kiai yang mengganti dengan nama BURHAN, (atau diubah sedikit saja: seperti TAHAN sudah cukup). Lalu dibancaki dan diumumkan.

Jika sama sekali tidak ada yang mau berbuat demikian, maka tafsir ini yang langsung resmi melakukan dengan paparan tersebut. Hal itu untuk membebaskan kedua orang tua Cak Tuhan dari dosa dan siksa di alam sana. Itu lebih bagus daripada terus menerus dalam kesalahan dan dosa.

Merujuk apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW tentang penggantian nama kecil Abu Bakr, maka biasanya kiai pondok pesantren secara otorita mengganti nama santri baru yang dirasa tidak baik. Seorang santri bernama Khairur Raziqin (Dzat paling bagus dalam memberi rejeki). Ini ada dalam al-Qur'an dan merupakan sifat khusus bagi Allah SWT. Oleh kiai diganti menjadi Khairul Marzuqin. (manusia terbaik yang diberi rejeki oleh Tuhan). Malahan, seorang santri yang namanya tidak sempurna, Saiful. Huruf "al" yang terpenggal tanpa dilengkapi al-mudhal ilaih. Oleh kiai ditambahi menjadi, Saifullah (Pedang Allah).

Sedangkan nama yang meniru atau menjiplak nama Nabi, maka justru disunnahkan. Seperti nama Muhammad, Ahmad, Mushtafa dll. Di arab, biasa nama anak dan orang tua sama: Muhammad bin Muhammad, seperti nama kecil imam al-Ghazali. Bahkan ada kata-kata berharga, barang siapa punya tiga anak lelaki, tapi tidak satupun di antara mereka ada yang diberi nama dengan Nabi, Muhammad atau Ahmad, maka dianggap sebagai ayah yang bodoh.

Dalam artian tidak mengerti ada keberkahan dalam nama Muhammad. Tiga kali Tuhan memberi peluang, tapi tidak dimanfaatkan. Ayah macam itu dianggap congkak, seolah tidak butuh ada keturunannya yang bagus dan bisa mewarisi akhlaq Nabi. Ini sebatas etika dan tidak sampai ke hukum wajib. Anggap saja tesis di atas benar, maka yang dimaksud tidak berarti harus persis nama Muhammad atau Ahmad, melainkan semua nama atau gelar atau sifat yang melekat pada diri Nabi Muhammad SAW, maka cukuplah. Seperti Musthafa, Muqaffa, Aqib, Amin dll.

Makanya, nama tidak harus berbahasa Arab, yang penting menunjuk makna bagus atau tidak punya makna sama sekali. Nama yang bagus adalah doa, tidak ada beda dari bahasa apa. Seorang teman memberi nama anaknya: "Goodman Muftakhar. Goodman (Inggris) sama dengan "Khairuman" (Arab), artinya: manusia terbaik. Muftakhar (bisa dibanggakan). Orang Barat memberi nama anaknya White (putih). Jelas sekali, si orang tua itu berharap anaknya kelak berjiwa bersih. Sedangkan nama tak bermakna, seperti Ibrahim, Bambang, John, sebatas sebagai nama dan sah-sah saja.

Keempat, soal kesulitan mengubah nama terkait administrasi, seperti pada Akte, KTP, KK, Ijazah, buku Rekening dll. Ketahuilah, pemerintah kita kini sudah memberi kemudahan dan semua itu ada aturannya. Bukan tidak bisa diubah, melainkan harus melalui prosedur dan itu wajar. Sudah ada layanan soal penggantian nama dan mudah. Sering penulis membatin,: kayak Cak Tuhan itu kok tidak risih menyandang nama demikian. Apa tidak merasa malu saat shalat, saat bersyahadat, saat berdoa, saat menyebut nama Tuhan dan seterusnya.

Penulis sangat yakin, bahwa khusus kasus Cak Tuhan ini, jika mau mengurus dan mengubah nama, pastilah dimudahkan dan lancar. Hak itu karena sudah populer, didukung masyarakat, direkomendasi MUI, difasilitasi pemerintah dan diawasi media, koran atau televisi dll. Tidak akan ada oknum yang berani mempersulit. Kini persoalan sepenuhnya ada di tangan Cak Tuhan, mau sadar dan mengoreksi diri atau tetap tega membiarkan orang tuanya terus-menerus dalam kesalahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO