Sandiaga Uno, Kiai As’ad Ali, Romo Beny, Kiai Cholil Nafis Testimoni Perjuangan Kiai Asep | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sandiaga Uno, Kiai As’ad Ali, Romo Beny, Kiai Cholil Nafis Testimoni Perjuangan Kiai Asep

Editor: MMA
Jumat, 22 Oktober 2021 16:56 WIB

Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA dan para pembicara serta penulis buku “Inspirasi dan Pejuangan Kiai Asep Saifuddin Chalim Membangun Manusia Indonesia” karya Muhammad Ismail Adnan. Foto: MMA/ bangsaonline.com

Menurut Kiai Mun’im, salah satu ciri utama santri Kiai Hasyim Asy’ari adalah mencintai NU dan tanah airnya. “Para santri Kiai Hasyim Asy’ari sangat mencintai negaranya. Tak pernah mengkhianati negaranya,” kata Wakil Sekjen PBNU itu.

Kenapa? Karena Kiai Hasyim Asy’ari dan kiai-kiai NU terlibat aktif dalam merumuskan Pancasila. Menurut dia, Pancasila justru dirumuskan dari nilai-nilai agama yang sudah disepakati oleh para pendiri negara Indonesia. “Pancasila bagian dari agama itu sendiri,” katanya.

Karena itu wajar jika Kiai Asep, selain sangat mencintai NU juga selalu berpikir tentang kemajuan Indonesia.

M Mas’ud Adnan yang mengaku banyak mengikuti aktivitas Kiai Asep mengutip pepatah bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

“Saya sebagai wartawan selama ini banyak sekali menulis tentang Kiai Asep. Ketika saya tahu bahwa Kiai Asep putra pendiri NU, KH Abdul Chalim, saya menelusuri siapa Kiai Abdul Chalim. Kebetulan Kiai Abdul Chalim pernah tinggal di dekat rumah saya di Kedung Sroko Surabaya. Rumah saya persis di belakang Fakultas Kedokteran Unair Surabaya,“ kata Mas’ud Adnan, CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com.

Mas’ud Adnan mengaku sempat mendatangi kiai sepuh di lingkungan Kedung Sroko Tambaksari Surabaya. Kiai itu bernama Kiai Nur. Ternyata kiai itu sangat kenal Kiai Abdul Chalim karena rumahnya hanya berjarak gang.

Yang menakjubkan, menurut Mas’ud Adnan, Kiai Abdul Chalim, meski dikenal sebagai pendiri NU, bahkan tokoh dan kiai besar, tapi kehidupan sehari-harinya sangat sederhana.

“Maaf, saat berada di Kedung Sroko beliau lebih banyak “menyamar” sebagai penjual sarung. Dengan profesi sebagai penjual sarung Kiai Abdul Chalim bisa mendatangi rumah-rumah penduduk menawarkan sarung. Tapi sarung itu hanya sebagai alasan untuk bertamu. Setelah itu Kiai Abdul Chalim justru banyak ngobrol soal agama. Jadi Kiai Abdul Chalim itu seorang pendakwah yang mukhlis yang keluar masuk dari rumah ke rumah untuk mengajarkan agama,” kata Mas’ud Adnan mengutip penuturan Kiai Nur di Kedung Sroko Surabaya.

Karena itu, kata Mas’ud Adnan, jika Kiai Asep kini dikenal luas sebagai kiai kaya raya tapi dermawan bisa jadi tak lepas dari jiwa abahnya, Kiai Abdul Chalim. Menurut Mas’ud Adnan, Kiai Abdul Chalim sangat punya jiwa sosial tinggi, di samping sangat telaten mengajarkan agama kepada masyarakat.

“Karena itu setiap saya menulis berita tentang Kiai Asep saya selalu menarasikan bahwa Kiai Asep adalah kiai miliarder tapi dermawan,” kata Mas’ud Adnan.

Mas’ud Adnan juga membenarkan pernyataan Kiai Mun’im bahwa ciri utama santri Hadratussyaikh mencitai NU dan tanah airnya. “Saya juga alumni Pesantren Tebuireng. Karena itu koran saya, saya beri nama HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com,” kata Mas’ud Adnan sembari tertawa.

Mas’ud Adnan juga mengajak para peserta bedah buku untuk melihat Kiai Asep dari sisi perjuangannya saat remaja. Menurut Mas’ud Adnan, kehidupan Kiai Asep saat remaja sangat pahit, terutama ketika ditinggal wafat abahnya, Kiai Abdul Chalim, saat kelas II SMA.

“Kiai Asep pernah bercerita kepada saya bahwa seminggu sebelum abahnya wafat, Kiai Abdul Chalim nyambangi Kiai Asep ke Buduran Sidoarjo. Dan ketika Kiai Abdul Chalim pamit meninggalkan Kiai Asep, beliau terus melihat Kiai Asep,” tutur Mas’ud Adnan. Tak lama kemudian Kiai Abdul Chalim wafat.

Sedihnya, bukan saja Kiai Asep kehilangan sosok abah yang menjadi panutan yang selalu diharapkan doa-doanya, tapi juga harus keluar dari sekolah SMA karena tak ada yang membiayai sekolahnya.

Namun Kiai Asep tak pernah putus asa. Menurut Mas’ud Adnan, semangat Kiai Asep untuk menuntut ilmu terus membara. “Bahkan untuk bisa mendaftar kuliah beliau sempat mau berjualan rokok asongan di Terminal Wonokromo (Joyoboyo) Surabaya. Namun beliau urungkan, tak jadi, karena takut ketauan teman-temannya sesama SMA. Kiai Asep pilih jadi kuli bangunan untuk mengumpulkan uang buat biaya pendaftaran kuliah,” kata Mas’ud Adnan sembari mengatakan bahwa Kiai Asep saat sekolah berjalan kaki hingga lima kilometer jauhnya.

Menurut Mas’ud Adnan, banyak sekali kisah-kisah sedih tapi penuh inspirasi dari perjalanan hidup Kiai Asep yang bisa diteladani. “Kalau ingin tahu lebih banyak tentang beliau, silakan bapak-ibu dan para kiai klik di google kata kunci Kiai Asep, maka pasti muncul tentang Kiai Asep yang dimuat bangsaonline.com,” kata Mas’ud Adnan sembari berharap generasi muda ke depan bisa mengakses tulisan-tulisannya tentang kisah sukses Kiai Asep yang penuh inspirasi terutama karena melalui jalan berliku.

Kiai Mujib Qolyubi yang tampil kali terakhir menceritakan bahwa Kiai Asep telah banyak membuka cakrawala warga NU dan pesantren. Menurut dia, jika selama ini warga NU lebih banyak berkutat pada masalah agama sehingga pendidikannya pun banyak di jurusan agama, kini justru merambah semua ilmu, termasuk ilmu umum.

“Selama ini kan hanya sarjana alam ghaib (SAg). Sehingga hanya berebut kepala kemenag atau rektor UIN,” kata Kiai Mujib Qolyubi yang Wakil Katib Syuriah PBNU. Tapi kini Kiai Asep telah mengubah paradigm itu menjadi lebih luas sehingga santri dan warga NU bisa merambah semua sektor, tidak hanya agama.

Menurut Kiai Mujib Qolyubi, Kiai Asep adalah sosok kiai dermawan, santun, tawaddlu, dan mandiri. “Itu laqob yang saya berikan,” kata Kiai Mujib Qolyubi sembari memuji akhlak Kiai Asep yang luar biasa tinggi.

Kiai Mujib Qolyubi semakin terkesan dengan Kiai Asep terutama karena cara berpikirnya sangat modern tapi tetap mengamalkan amalan-amalan NU. Ia mengaku tak pernah bisa melupakan ketika Kiai Asep memberikan ijazah Hizib Nashar, Bahar dan Nawawi.

Kiai Asep yang tampil sebagai pamungkas mengucapkan terimakasih kepada semua pembicara. Ketua Umum Persatuan Pengurus Pusat Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu membenarkan semua apa yang disampaikan para tokoh yang memberikan testimoni.

Menurut Kiai Asep, ketika ditinggal wafat abahnya, Kiai Abdul Chalim, ia mengakui betapa getir hidupnya ketika remaja. Bahkan untuk makan saja ia tak punya. Tapi ia tak putus asa. “Kalau pukul 12 malam saya pergi ke dapur santri. Saya cari kendil yang tengkurap yang masih ada sisa nasinya. Kalau kendil itu tengkurap berarti sudah tidak dibutuhkan oleh pemiliknya. Tapi kalau kendil itu dicantolkan berarti kendil itu masih dibutuhkan oleh pemiliknya,” kata Kiai Asep.

Sisa nasi di kendil itu kemudian diberi air. Nasi itu langsung mengelupas dan bisa dimakan. Begitu juga airnya. Warna airnya mirip teh. Bisa diminum.

Kiai Asep juga bercerita saat mengembara mencari tempat untuk sekedar dapat makan dan bisa tetap menalaah kitab. “Saya membawa tas yang beratnya sekitar 30 sampai 40 kilo. Isinya kitab-kitab, kamus Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Selebihnya tiga setel baju. Baju saya memang tak lebih dari tiga setel,” katanya.

Dalam perjalanan itulah ia melihat banyak pabrik yang ternyata pemiliknya adalah orang asing. Ia berpikir. “Para kiai berjuang untuk merdeka. Tapi setelah merdeka ternyata orang lain yang mengisi. Seharunya yang mengisi kemerdekaan itu kan para santri,” kata Kiai Asep.

Rasa nasionalisme Kiai Asep tersinggung. Karena itu Kiai Asep lalu punya cita-cita besar yaitu untuk mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan: menjadikan Indonesia maju, adil, makmur, dan sejahtera. Dan itu hanya bisa terwujud, kata Kiai Asep,  jika para santri yang memegang kendali kekuaasaan.

“Kehidupan adalah pertarungan idealisme,” itulah narasi yang sering dikumandangkan Kiai Asep. (mma) 

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video