Kenapa Pangeran Diponegoro Kenakan Pakaian Ulama saat Perang Lawan Belanda

Kenapa Pangeran Diponegoro Kenakan Pakaian Ulama saat Perang Lawan Belanda Dahlan Iskan

SURABAYA, .com Perang Diponegero melawan penjajah menimbulkan korban luar biasa. Ribuan penjajah tewas. Begitu juga para pejuang Indonesia. Bahkan sempat kewalahan.

Perang pecah karena penjajah memunguti berbagai pajak. Yang sangat memberatkan rakyat. Tapi kenapa justru mengenakan pakaian ulama saat perang melawan penjajah, bukan pakaian Jawa, kesultanan, atau panglima perang?

Silakan simak tulisan wartawan terkemuka, Dahlan Iskan, hari ini, Rabu 23 Juni 2021, di Disway, dan .com. Selamat membaca:

DI musim Piala Eropa ini Inggris kalah dengan Dasamuka.

Saya harus melewatkan pertandingan Inggris lawan Skotlandia karena tidak bisa berhenti membaca novel berjudul tokoh pewayangan itu.

Awalnya saya sulit menduga apa tema novel karya sastrawan Dr Junaedi Setiyono ini. Dua tahun lalu saya membaca novel karya sastrawan India dengan judul Rahwana. Yang menjungkirbalikkan cerita Ramayana.

Ternyata Dasamuka ini novel dengan tema Perang Jawa (1825-1930). Yang juga disebut Perang .

Kita hanya tahu Perang pecah karena penjajah memungut berbagai macam pajak. Yang sangat memberatkan rakyat. sempat kewalahan. Korban di pihak begitu besar. Delapan ribu tentara totok tewas. Tujuh ribu tentara bayaran mereka juga sirna. Lebih 200.000 pejuang tewas. Lalu ditipu untuk ditangkap. Dibawa ke Semarang. Lalu ke Jakarta. Selanjutnya dibuang ke Tondano dekat Manado. Lalu dipenjarakan di Makassar. Meninggal dan dimakamkan di Makassar dalam usia 69 tahun.

Pengikut lari meninggalkan Jogja. Penduduk Jogja digambarkan tinggal separonya.

Saya sendiri mendapat tambahan cerita dari mulut ke mulut. Dari satu generasi ke keturunan berikutnya. Ketika tokoh-tokoh pengikut itu melarikan diri ke arah timur. Ke Pacitan. Ke Ponorogo. Ke Sewulan, Madiun. Ke Magetan dan seterusnya.

Menurut cerita keluarga kami, Perang adalah juga pemberontakan penganut Tarekat Syatariyah. Semua pesantren yang menganut aliran itu bergerak serentak melawan . Karena itu, di perang itu, Pangeran mengenakan pakaian ulama. Begitu juga pengikutnya. Bukan pakaian Jawa. Atau pakaian kesultanan. Atau pakaian panglima perang. Entahlah.

Novel ini menarik justru karena tidak bercerita soal perang itu sendiri. Tema novel ini justru pada apa yang terjadi selama 10 tahun sebelum perang itu pecah. Untuk meminjam istilah PKI menjelang meletusnya G30S, novel ini justru menggambarkan masa hamil tuanya. Bahkan sejak hamil mudanya. Pun sejak penyebab kehamilan itu.

Pecahnya perang itu sendiri hanya disertakan sebagai catatan sangat pendek di halaman terakhir. Yakni di adegan ketika William, ilmuwan Skotlandia, sudah berada di dermaga pelabuhan Semarang. Ia sudah siap naik kapal menuju Batavia untuk selanjutnya kembali ke Skotlandia.

Di dermaga itu William menjadi orang terakhir yang naik kapal. Ia masih menunggu kedatangan sahabatnya yang berjanji akan mengucapkan selamat jalan di pelabuhan.

Si teman ternyata hanya mengutus seseorang berpakaian santri. Yang datang terlambat dan tergesa-gesa. Si utusan minta maaf. Teman baik William tidak bisa mengantar ke pelabuhan karena perang melawan harus segera dimulai. Dan si teman ternyata adalah salah satu panglima perang kepercayaan .

William sebenarnya sudah bertekad untuk hidup di Jawa sampai mati. Demikian juga seorang pengusaha Inggris di bidang perkebunan. Yang bersama anak gadisnya sangat cinta Jawa. Tapi mereka itu akhirnya harus kembali ke Inggris karena Jawa tidak lagi aman.

Ketika perang pecah, William sudah berada di Skotlandia. Kalau tidak, mungkin ia termasuk yang akan ditangkap . Ia ilmuwan. Ia penulis. Ia wartawan untuk London Times.

Lihat juga video 'Setahun Tak Ada Kabar, Korban Longsor di Desa Ngetos Nganjuk Tagih Janji Relokasi':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO