138 Negara Telah Akui Kemerdekaan Palestina, Indonesia Diminta Desak AS dan Uni Eropa

138 Negara Telah Akui Kemerdekaan Palestina, Indonesia Diminta Desak AS dan Uni Eropa Henwira Halim. Foto: ist

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menilai dukungan 138 negara di dunia atas kemerdekaan sebagai negara merdeka dan berdaulat, tidak lagi di bawah kendali , saat ini harus bisa dimanfaatkan secara maksimal Indonesia.

Indonesia bisa meningkatkan perannya dalam berdiplomasi dengan melakukan lobi terhadap 'goverment to goverment' dan 'people to people' ke 138 negara tersebut, terutama dan Uni Eropa

“Saat ini sudah ada 138 negara yang mengakui kemerdekaan , berarti sudah 70 persen negara di dunia yang mengakui. Tetapi pertanyaannya, kenapa mempertahankan dan menolak kemerdekaan ," kata Henwira Halim, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri DPN Partai Gelora Indonesia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (19/5/2021).

Hal itu disampaikan Henwira dalam diskusi 'Akankah Segera Merdeka' yang diselenggarakan Al Quds Volunteer Indonesia pada Senin (17/5/2021) malam lalu.

Menurut Henwira, selama AS masih mem-backup penuh , maka akan dibutuhkan upaya lebih besar untuk memerdekakan dari penjajahan negara Yahudi itu.

"Jadi selama terus mem-backing , maka semakin rumit dan dibutuhkan effort (upaya) yang besar untuk mencapai kemerdekaan ," katanya.

Untuk membentuk sebuah negara merdeka dan berdaulat, kata Henwira, diperlukan empat syarat, yakni populasi, wilayah, pemerintahan, dan pengakuan.

Namun, karena pertarungan kepentingan geopolitik global, kemerdekaan terus terganjal, meski 70 persen negara di dunia sudah memberikan dukungan.

Sebab, dan sebagian negara Barat ingin mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah (Timteng) dengan memberikan dukungan kepada .

Dukungan kepada tersebut, adalah untuk mempertahankan pengaruh mereka baik secara politik, keamanan, investasi, dan upaya melakukan eksplorasi dalam mendapatkan sumber daya alam baru.

" ini korban politik geopolitik global. Warga yang jadi korban kolateral (agunan) geopolitik, sehingga Amerika ragu-ragu mengutuk , apalagi mengambil tindakan tegas," katanya.

Namun, sikap AS tersebut mulai bergeser oleh tekanan perkembangan mengenai , serta dinamika politik dan sosial yang terjadi di dalam negeri Paman Sam itu sendiri.

Bahkan para Senator dari Partai Demokrat juga sudah mendesak agar segera ada gencatan senjata antara -, dan meminta Presiden AS Joe Biden bersikap keras ke .

"Senator Demokrat menilai sudah dianggap tidak punya moral, tidak demokratis dan rasis, bahkan apartheid. Kalau sudah menuduh rasis dan apartheid itu sudah tuduhan berat. 28 Senator dari demokrat ingin ada gencatan senjata dan meminta Presiden Joe Biden keras kepada ," katanya.

Henwira menjelaskan, saat ini di publik AS sudah ada pergeseran pemahaman yang berbeda mengenai dan Islam, yang menganggapnya bukan lagi terorisme, tetapi sudah menyangkut sisi kemanusian.

"Selama ini mengatakan, haknya membela diri. Menyerang roket memang salah, tetapi ketika tidak ada harapan merdeka, putus asa, sikap warga juga tidak bisa disalahkan. Jadi ada pergeseran pemahaman," kata Peneliti Senior LESPERSSI ini.

Karena itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) diharapkan bisa memainkan perannya lebih dalam untuk mendesak AS dan Uni Eropa, serta negara di dunia lainnya melalui 'goverment to goverment' dan menarik simpati masyarakatnya 'people to people' .

"Kita merdeka juga karena ada tekanan kepada Belanda, harus ada diplomasi mengajak negara lain. Tetapi people to people juga penting supaya nyambung agar AS dan Uni Eropa mengajak warganya sendiri untuk mendukung kemerdekaan . Ini bisa difasilitasi kedutaan," pungkas Henwira.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO