​Pertarungan Head to Head Pilkada Gresik, Siapa Menang?

​Pertarungan Head to Head Pilkada Gresik, Siapa Menang? Nico Ainul Yakin. Foto: bangsaonline.com

Oleh: Nico Ainul Yakin --- JUDUL di atas adalah ungkapan yang lazim terdengar untuk menganalisis tentang pertarungan antara juara bertahan dengan penantangnya dalam sebuah event pertandingan olah raga, seperti sepak bola, tinju, atau olah raga apapun.

Narasi ini juga acap kali digunakan para pengamat politik dalam melihat kontestasi demokrasi antara calon petahana (incumbent) dengan calon baru yang kali pertama mengikuti kontestasi demokrasi.

Pada 2020 ini terdapat 270 daerah di Indonesia yang akan menggelar kontestasi pilkada serentak, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota; dan pada setiap pilkada itu selalu ada petahana yang kembali berlaga untuk mempertahankan jabatan puncaknya di daerah.

Di Jawa Timur, terdapat 19 kabupaten/kota yang akan menggelar pilkada serentak, dan di beberapa daerah tersebut calon petahana menjadi bagian dari kontestan pilkada - salah satunya adalah kabupaten Gresik.

Berbeda dengan pilkada sepuluh tahun terakhir yang diikuti banyak calon, kini pilkada Gresik 2020 hanya diikuti oleh dua pasangan calon kepala daerah, yakni Mohammad Qosim (petahana)-Asluchul Alif (QA) versus Fandi Akhmad Yani-Aminatun Habibah (NIAT).

Banyak pihak menyebut pilkada di kota santri itu akan berlangsung seru dan sangat menarik untuk dikaji, karena pertarungan head to head bakal berjalan begitu ketat dan kompetitif.

Menariknya lagi, kedua pasangan calon itu sama-sama memiliki jaringan dan basis dukungan kuat di masyarakat, serta sama-sama memiliki kemampuan logistik memadai.

Sepuluh Tahun Terakhir Pilkada Gresik

Untuk memotret pilkada Gresik 2020, sebaiknya kita lihat hasil pilkada sepuluh tahun terakhir (2010 dan 2015), di mana calon petahana selalu berhasil mematahkan ambisi para calon kepala daerah lainnya.

Di pilkada yang digelar pada 26 Mei 2010, Sambari Halim (wakil bupati Gresik saat itu) yang berpasangan dengan Mohammad Qosim berhasil mengalahkan lima penantangnya, yaitu (i) Husnul Khuluq-Musyafak Noer; (ii) Sastro Suwito-M. Samwil; (iii) Bambang Suhartono-Abdullah Qoni’; (iv) Nashihan-Syamsul Ma’arif; dan (v) Mujitabah-Suwarno.

Kemudian pada pilkada yang digelar 9 Desember 2015, pasangan petahana Sambari Halim-Mohammad Qosim kembali jumawa dan berhasil mengalahkan dua pasangan calon kepala daerah lainnya yaitu (i) Husnul Khuluq-Ruba’i; dan (ii) Nur Chamim-Junaidi.

Lalu, apakah sukses Sambari-Qosim di masa lalu kembali akan ditorehkan oleh Qosim-Alif pada gelaran pilkada 9 Desember 2020 mendatang?

Pertanyaan di atas memang tak mudah dijawab, sebab kali ini Qosim-Alif harus berhadapan dengan penantang baru – generasi milenial yang memiliki akar kultural cukup kuat, baik di elit maupun grassroots, yaitu Fandi Akhmad Yani (Gus Yani)-Aminatun Habibah (Ning Min).

Mempertahankan gelar juara bagi petahana yang sudah mengakar tidak terlalu sulit, pasalnya mereka sudah mengambil start lebih awal untuk sosialisasi kepada masyarakat. Tetapi bukan berarti tidak bisa dikalahkan. Banyak kasus yang dapat dijadikan contoh, di mana petahana gagal mempertahankan “gelar juaranya” sebagai pemenang pilkada.

Dalam tiga kali pilkada serentak pada 2015, 2017, dan 2018 misalnya, persentase kegagalan calon kepala daerah petahana berkisar di angka lebih dari 30 persen.

Petahana yang gagal mempertahankan posisinya sebagai kepala daerah pada 2015 mencapai 36,8 persen. Kemudian di pilkada 2017 angkanya meningkat menjadi 39,35 persen. Lalu, di pilkada 2018 petahana yang kalah dalam pilkada mencapai 37,42 persen.

Kegagalan petahana di pilkada disebabkan beberapa hal, antara lain karena abai dan terlalu menikmati kekuasaan yang dimiliki pada periode sebelumnya.

Waktu yang cukup panjang saat berkuasa tidak banyak dimanfaatkan dengan baik untuk membangun, mengembangkan dan mempertahankan basis dukungannya dengan kerja-kerja kreatif, solutif dan berkeadilan.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO