​Gaji Wantimpres Rp 17,5 Juta, Staf Khusus Rp 51 Juta, Nasehat pun Sulit Diterima Presiden

​Gaji Wantimpres Rp 17,5 Juta, Staf Khusus Rp 51 Juta, Nasehat pun Sulit Diterima Presiden Para anggota Wantimpres yang dilantik Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta. foto: Antara

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Jabatan Dewan Pertimbangan Presiden () terkesan sangat mentereng. Maklum, secara normatif jabatan itu bisa memberi nasehat, masukan, dan saran kepada Presiden sehingga punya potensi mempengaruhi kebijakan penting dan strategis tentang nasib bangsa. Namun faktanya, ternyata tak segagah namanya.

“Sulit memberi masukan, karena di Istana juga banyak para pembisik,” ungkap KH. Ahmad Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PBNU yang pernah menjabat anggota kepada BANGSAONLINE.com suatu ketika. Abah Hasyim – panggilan akrab Kiai Hasyim Muzadi – sebelum wafat pada 17 Maret 2017 pernah diangkat menjadi anggota oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Abah Hasyim dikenal dekat dengan Presiden Jokowi. Bahkan saat Jokowi umroh pada masa kampanye pilpres, Abah Hasyim inilah yang menjadi pembimbing di tanah suci. Karena itu, wajar jika ia kemudian diangkat sebagai anggota .

Namun secara fungsional, ternyata tak seperti yang ia bayangkan. Ia mengaku pernah dipanggil Presiden Jokowi bicara empat mata sambil makan bersama. “Saya hanya berdua dengan Jokowi di Istana. Pratikno tak boleh ikut,” kata Abah Hasyim.

Saat itulah Abah Hasyim menyampaikan banyak hal kepada presiden asal Solo itu. Masukan dan saran yang ia sampaikan itu hasil dari pantauan situasi setelah Abah Hasyim turba ke daerah-daerah di Indonesia. Ternyata semua saran dan masukan yang ia sampaikan itu tak di-follow up oleh Jokowi.

Ya, itulah gambaran bagaimana realitas . Dulu itu bernama Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Namun pada 2002 terjadi Amandemen UUD 45. Maka pada 2003 - seperti dilansir lokadata.id - DPA dibubarkan. DPA dihapus dengan Kepres pada 31 Juli 2003 berdasarkan Amandemen UUD 45. Pada 2006 dibentuklah .

Memang, sejarah DPA dan cukup panjang. Pada 25 Sptember 1945 dibentuk DPA atas amanat pasal 16 UUD 45. Ketua DPA pertama adalah Margono Djojohadikusumo. Namun posisi DPA saat itu tidak jelas karena gejolak politik.

Pada 5 Juli 1959 terbit Dekrit Presiden. Lalu dibentuk DPA Sementara (DPAS). Ketua DPAS saat itu Presiden Soekarno. Namun pada 1967 DPAS dihapus. Lalu diganti DPA. Pada 31 Juli 2003 DPA dihapus berdasarkan Amandemen UUD 45. Pada 2006 dibentuk hingga sekarang.

Namun yang perlu dicermati, kedudukan dan kewenangan beda sekali dengan DPA. Dulu DPA sejajar dengan Presiden. Kini Watimpres justeru bertanggungjawab kepada Presiden. 

Ya, DPA dulu adalah satu dari lima Lembaga Tinggi Negara bersama DPR-RI, Presiden dan Wakil Presiden, MA, dan BPK. Setelah amandemen UUD 1945 (2002), Lembaga Tinggi Negara berisi tujuh tapi tak termasuk karena posisinya di bawah Presiden. 

Karena itu wajar jika pengamat politik dari Unviersitas Indonesia Arbi Sanit meragukan fungsi sekarang. “Presiden mana sih dengerin ? Itu lembaga konstitusional, tapi cara kerja enggak terkait langsung dengan presiden,” kata Arbi dikutip Indonesiainside.id, Jumat (13/12).

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO