​Kapasan Dalam, Wajah Pluralisme Indonesia, di Kota Surabaya

​Kapasan Dalam, Wajah Pluralisme Indonesia, di Kota Surabaya Suk Dony menerangkan keberadaan Punden Kapasan, lokasi untuk Sedekah Bumi, kepada mahasiswa Universitas Ciputra Surabaya yang melakukan kunjungan. foto: Yudi Arianto/ BANGSAONLINE

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Sabtu (14/09/2019) pagi, di warung Serumai, beberapa warga menikmati sarapan dan sakedar menyeruput kopi. Gayeng mengobrol. Yang tak biasa, mereka dari etnis, Jawa, Tionghoa, Madura. Tanpa jarak dalam bercanda.

Gambaran pada Sabtu pagi, juga terjadi sepanjang hari-hari dalam satu minggu, di Kampung Kapasan Dalam. Sebuah kampung tua di Kota Lama Kota .

Kampung ini terletak di belakang Klenteng Boen Bio Jl Raya Kapasan No. 131, Kelurahan Kapasan, Kecamatan Simokerto, Kota .

Di tengah-tengah kampung ini, bercokol warung Serumai. Seakan magnet kuat, dan menarik warga Kadal (sebutan untuk Kapasan Dalam). Warga tersedot mendatangi warung, bagai semut yang satu per satu mendatangi sesendok gula yang tumpah di lantai.

Warung ini letaknya berdekatan dengan lapangan basket, yang dulunya dipakai untuk latihan kungfu warga Kadal pada masa penjajahan Belanda. Dan para pendekar kung fu kampung Kadal ini, berbaur bersama pejuang Arek-arek .

Pluralisme terasa kian kental, seperti susu cair di suhu dingin, ketika warga kampung sebelah (Kapasan Samping) yang mayoritas dihuni etnis Jawa dan Madura, juga tersedot magnet kuat warung Serumai.

Celetukan guyon (bercanda) khas suroboyoan, sedikit rusuh, disertai pisuhan, selalu menghiasi percakapan sehari-hari mereka.

Asrep, salah satu penjual di warung makan mengaku, tiap hari warga multi etnis (Tionghoa, Jawa, dan Madura) pasti datang ke warungnya untuk sarapan atau nyeruput kopi, atau teh hangat (ngopi dan ngeteh).

"Ya, warga di sini sudah hari-hari makan di warung saya. Di sini warga tidak pandang bulu, ada Jawa, Madura, dan Tionghoa. Mereka duduk sama-sama untuk makan dan minum serta ngobrol," aku wanita kelahiran Lamongan, yang tinggal di Jl Kapasan Dalam Gang I ini.

Asrep mengenang, Wali Kota Tri Rismaharini pernah mengatakan bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Meski berbeda-beda keyakinan, semua tetap warga , terlebih lagi warga negara Republik Indonesia.

Asrep tidak sendiri. Ia bersama empat warga Tionghoa lain serta satu warga Madura ikut berjualan mengisi stan warung sebanyak enam stan. Mereka dikoordinir pengurus RW setempat untuk berjualan secara bergantian dengan sistem dua sift. Sift pertama berjualan dari pukul 06.00 WIB-13.00 WIB dan sift kedua dari pukul 16.00 WIB-23.00 WIB.

Pembauran multietnis di kampung Kadal ini, tak hanya sebatas cangkruk (nongkrong) di warung . Bahkan, ada yang sampai ke jenjang pernikahan. Sebut saja Nabiyah, wanita etnis Madura, kelahiran Kota Sampang. Dia menikah dengan suaminya yang asli Tionghoa (Cina totok). Sudah 25 tahun mereka hidup penuh cinta, dan telah dikaruniai dua putra.

"Kalau mau mencari contoh kerukunan, ya lihatlah kampung Kadal ini, tidak usah jauh-jauh. Pokoknya di dalam keluarga itu adem ayem, jarang bertengkar pasti tentram menjalani kehidupan sehari-hari," tutur Bu Yah, sapaan Nabiyah yang tinggal bersama suami di Kapasan Dalam Gang II.

Cik Meme Jawa

Sebuah rumah yang berada di ujung Kapasan Dalam Gang III, tepat di samping warung. Rumah bernuansa ornamen Cina, milik Cik Mewa.

Rumah Cik Mewa jadi jujugan siapa pun. Para pedagang di warung juga biasa memanfaatkan rumahnya, sekadar buang air kecil, atau bahkan mandi. Cik Mewa membuka rumahnya 24 jam.

Saat ditanya apa tidak ada rasa khawatir kalau ada yang mengambil harta bendanya, Cik Mewa pun menggelengkan kepala. Ia tidak khawatir sama sekali karena mereka yang sudah menganggap rumahnya sebagai markas (rumah kedua), tidak akan berbuat hal-hal yang merugikannya sebagai tuan rumah.

"Warga di sini bisa menjaga satu sama lain. Silakan saja kalau mau mengambil barang-barang saya. Lagian saya tidak punya apa-apa jadi apa yang mau diambil," ucap wanita kelahiran tahun 1960, yang mewarisi rumah itu dari keluarganya.

Pernah satu ketika, anak-anak muda akan melakukan pesta miras. Cik Mewa mengancam. Ancamannya cukup unik, bukannya memarahi, malah Cik Mewa akan ikut nimbrung pesta miras. Alhasil, mereka pun mengurungkan niatnya pesta miras di warung itu.

Ketegasan Cik Mewa itu tidak terlepas dari didikan ayahnya seorang tentara Angkatan Darat. Belakangan diketahui, Cik Mewa adalah singkatan dari Meme Jawa (adik jawa, panggilan orang Tionghoa). Nama aslinya Endang Sulistyorini, selain Cik Mewa, ia biasa dipangil Ninik.

Janda enam anak ini merupakan putri asli Kapasan Dalam Gang III. Ayahnya berasal dari Trenggalek sedangkan ibu asli Kediri. Di rumah ini ia hidup sebatang kara, anak-anaknya sudah berumah tangga . Mereka ada yang tinggal di , Sidoarjo, Gresik, Kediri, dan Kalimantan. Ia sering dikunjungi cucunya yang tinggal di tersebut.

Sedekah Bumi

Meski mayoritas warga Kampung Kadal ini adalah Tionghoa, namun mereka ternyata juga melakukan ritual adat layaknya orang Jawa yakni Sedekah Bumi.

Dony Djung, salah satu warga Tionghoa di Kampung Kadal, menjelaskan, ritual adat sedekah bumi dilakukan oleh warga setiap tahun. "Sedekah Bumi ini sebagai rasa syukur kita karena kampung tetap terjaga, aman dan tentram. Biasanya orang Jawa merayakan ritual Sedekah Bumi mengikuti tanggalan Suro Jawa, namun di Kampung Kapasan Dalam ritual Sedekah Bumi jadwalnya mengikuti hari lahir Nabi Konghucu," jelasnya.

Ia menambahkan, saat sedekah bumi, warga Kadal membaur untuk melakukan ritual syukuran dan selamatan dengan menyumbangkan tumpeng. Acara tepat dilakukan di punden kampung yang letaknya persis depan kantor Kelurahan Kapasan. Selain itu, warga juga menggelar wayang semalam suntuk pas di depan punden.

"Selain wayang yang utama, ada juga pertunjukan kesenian Barongsai serta tari-tarian adat Tionghoa yang ikut menyemarakkan Sedekah Bumi tersebut. Tanggal 24 September ini kami akan menggelar Sedekah Bumi 2019," tambah Dony yang juga praktisi Barongsai Klenteng Boen Bio ini.

Meski seorang pendatang sejak tahun 1980-an, kepedulian Suk Dony, sapaan Dony Djung terhadap kerukunan atas keberagaman warga Kapasan Dalam cukup tinggi. Bersama sang istri, Kristina yang asli kelahiran Kapasan Dalam Gang II, ia menjadi jujugan para tamu yang ingin mengenal lebih dalam keberagaman budaya warga.

Hobinya sebagai kolektor sekaligus penjual benda kuno menjadikan rumahnya yang bangunan lama bercorak kungfu ini selalu kedatangan tamu. Mulai dari pelajar, mahasiswa, komunitas sejarah dan seni, awak media, hingga arsitek yang tertarik dengan arsitektur rumahnya yang sarat akan nilai seni.

Namun sayang seribu sayang, sebuah musibah kebakaran menimpa rumah Dony pada akhir tahun 2018 lalu, tepatnya tanggal 8 Desember. Kebakaran yang menghanguskan belasan rumah di Kapasan Dalam II ini juga melalap ratusan benda koleksi milik Dony. Termasuk salah satu koleksi lukisannya yang ditaksir seharga Rp 2 miliar itu juga harus ia relakan dimakan si jago merah. Hanya beberapa saja koleksinya yang terselamatkan.

Foto Gus Dur di Klenteng Boen Bio

Lihat juga video 'Mobil Angkot Terbakar di Jalan Panjang Jiwo, Sopir Luka Ringan':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO