​Sumamburat: Menyimak Kegempaan

​Sumamburat: Menyimak Kegempaan

Oleh: Suparto Wijoyo*

AHAD pagi itu, 13 Mei 2018, saya bergumul dalam cengkerama keluarga usai menjalankan Shalat Subuh berjamaah di Masjid Ar-Rahman, Western Regency, Surabaya, yang semalamnya (Sabtu, 12 Mei 2018) diresmikan. Sambil menikmati desir angin dan memandang sorot mentari yang tidak sabar untuk “bersilaturrahmi” menghantar hari untuk beranjak merangkak, roti “berlapis gizi” untuk sarapan dihidang dengan teh kesukaan. Saya menyaksi lincahnya ragam ikan di kolam yang mampu bersenda gurau dengan tiga kura-kura, sebuah i’tibar yang memberikan wejangan betapa perbedaan tidak menghalangai persahabatan. Memang, waktu duduk di ruang makan, saya selalu membuka guna mensyukuri kebun belakang (dan kolam) yang bertabur puluhan jenis pepohonan sambil mentafakuri realitas dedaunan yang setiap lembarnya memproduksi oksigen.

Maka para hamba-Nya dapat menjalinkan cintanya dengan pepohonan, ranting-ranting dan daun-daun yang senantiasa menyajikan “kekayaannya” untuk manusia. Adalah sebuah kezaliman kalau manusia menganiaya pepohonan, bahkan menginjak rumput. Berbagai-bagai Sabda Rasulullah saw dapat dibeber tentang arti perlindungan terhadap flora-fauna, dalam kondisi perang pun dilarang berbuat zalim terhadapnya, termasuk anak-anak, wanita, ibu hamil, orang tua, tanpa memandang kosmologi imannya. Dalam sejumput lamun inilah istriku berteriak yang tidak lazim dan pastilah menimbulkan kekagetan, kegaduhan dan kegemparan isi rumah, yang biasa di kala pagi teralunkan ayat-ayat suci Alquran dari para Imam Besar Masjidil Haram. Nada suara itu menghentak mengabarkan dari bertubi-tubi berita yang tersebar dari sanak saudara maupun kolega: bom meledak di tiga gereja di Surabaya.

Sungguh ini pekabaran pagi yang membuat saya tersedak kaget dan bengong atas apa yang terceritakan, untuk selanjutnya “bombardir” warta memenuhi “jalanan jaringan telekomunikasi” digital, siapa saja. Berderet tanya dari para guru besar maupun mahasiswa yang berada di seantero Indonesia terlontar dan saya harus segera menjawabnya bahwa saya, arek Surabaya, spontan mengutuk keras tindakan teror ini, dan meminta aparat negara melakukan penyidikan komprehensif demi tegaknnya negara hukum. Ini adalah kejahatan yang serius pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya di media sosial, tim saya segera membuat pernyataan sikap untuk mengutuk kejadian biadab yang mengerikan dengan nyawa terlepas dari raga. Semua manusia yang bernalar dan berkewarasan mendesah resah dan menyampaikan bela sungkawa.

Sambil menulis untuk kolom khusus di salah satu media yang cetak Senin, 14 Mei 2018, saya harus menahan nafas dan mencoba menata arus ruhani lebih dalam agar mampu menyemburatkan pesan Rabu, 16 Mei 2018 ini. Sorot mata yang nanar tanpa binar terus terasa perih dengan keluh yang menyekat. Ruang ruhani terasa berat dengan kesadaran yang menegaskan kekhawatiran yang lazim dikaitkan dalam kasus seperti ini, bahwa esok muncul pewartaan yang membawa-bawa Islam. Bahkan dalam rentang waktu belum genap sesiang-semalam, sudah terlansir pernyataan bahwa pelakunya satu keluarga. Untuk selanjutnya foto mereka beredar bersamaan dengan para korban. Gambar yang tampil dan disebar banyak pihak itu terlihat berpakaian yang menyimpulkan kristal “kepastian” dia beragama Islam.

Kembali Islam ditarik dalam “jalan iman” yang “ditempuh” para teroris untuk selanjutnya diunggah sambil diberi tanda tanya: ada yang kenal dengan keluarga ini? Sebuah tanya yang menyiratkan berjuta persepsi yang amat kental dalam relasi antarmanusia yang berbeda iman. Islam, agamaku ini, diam-diam dipandang curiga sebagai “lembah subur teroris” meski tidak ada satu ajaran pun dalam agama paripurna yang Allah swt berikan ini tentang “kekejian atas nama iman”. Islam itu, oleh siapapun yang beradab dan berakal sehat serta berfikir luas, akan mengerti bahwa inilah ruas keselamatan yang rahmatan lil alamin. Agama penuh rahmat, sarat kebajikan, dan memuliakan setiap serpih semesta.

Belum usai ini mendedar dan menggedor untuk dientas tuntas, malamnya ada kejadian teror yang muncrat di Rusunawa, Taman, Sidoarjo. Pun di Poltabes Surabaya, Senin 14 Mei 2018, saat waktu beranjak siang. Ikutilah beritanya di hari-hari mendatang, semua akan sibuk dan demikianlah yang diniscayakan terhadap laku durjana, tragedi kemanusiaan yang menyayat jiwa bangsa. Perih dan semakin perih hati rakyat dengan kesedihan yang teraduk amat dalam, hingga publik tidak mampu menyimak dengan penuh kejernihan tentang apa yang sejatinya sedang terpentaskan di “halaman dalam rumah kita”: NKRI ini.

Kenapa teror terus menggelegak dan korban dipersembahkan, serta Islam sebagai agama bernas kedamaian digiring melalui pelaku-pelaku teror sebagai “ajaran kebencian”? Teroris itu bukan representasi Islam. Tidak adakah ini menyangkut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Apakah ini imun dari potret distribusi ekonomi yang mengangakan derita? Bagaimana pula gumpalan kue negeri yang dikunya tanpa kenal kenyang oleh sebagian pihak? Kompleksitasnya kentara sekali meski hanya dapat dirasa dan tak terkatakan? Cukupkah untuk mengatasinya dengan minum “obat pereda nyeri”, dan bukan menyembuhkan penyakitnya yang terus “mengganasi tubuh negeri ini”. Simaklah.

*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO