​Sumamburat: Meregang Sukma Biota

​Sumamburat: Meregang Sukma Biota Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

PENCEMARAN Teluk Balikpapan memasuki pekan kedua sejak terjadi 31 Maret 2018. Hari-hari yang membuat para pejuang ataupun pemerhati lingkungan berteriak keras meski ada yang lirih dengan kata yang tercekat, akibat sibuknya publik memberi respon atas peristiwa yang meradangkan “sukma muslim Indonesia”. Tulisan-tulisan saya mengenai “Sukma yang Mati di Teluk Balikpapan” atau “Meniup Sukma Indonesia 2030” dipahami banyak pihak sebagai kapital keseimbangan memberikan wacana akademik di ranah ontran-ontran “puisi yang tendensius” yang diviralkan itu.

Hanya seorang yang berbeda untuk tidak mengatakan salah menangkap pesan penegakan hukum lingkungan terhadap apa yang diderita para biota air Teluk Balikpapan. Kalaulah biota itu memiliki arti leksikal sebagai keseluruhan flora dan fauna yang terdapat di suatu wilayah, pastilah bahwa makhluk hidup yang berhabitat di Teluk Balikpapan sejak 31 Maret 2018 itu sungguh bertaruh nyawa mempertahankan hidupnya.

Sukma biota Teluk Balikpapan tengah diregangkan secara paksa oleh jiwa-jiwa yang alpa kepada sesama kreasi cipta Tuhan. Sukma-sukma yang tidak memahami nyawa flora dan fauna adalah nyawa-nyawa yang mengira bahwa semesta ini dikira hanya miliknya. Siapa yang ada di luar manusia penyebab semburatnya minyak dengan melakukan pengelakan di muka umum secara terang-terangan adalah lambang menafikan pihak lain. Semua yang tidak di dalam dirinya adalah “lain” dan itu tidaklah berarti.

Dari sinilah setarikan nafas dengan orang yang menganggap bahwa di luar warganya adalah “warga lain” yang tidak perlu dihitung, bila perlu diusir. Contoh paling brutal dalam sejarah kehidupan negara-negara dunia adalah pengusiran warga Palestina oleh Israel. PBB dibuat lesu darah, sejurus dengan yang dipertontonkannya di Rohingya. Kisahnya seperti mengulang kembali narasi roman yang mencekam The Outsider – L’Etranger, karya Albert Camus tahun 1942 dengan latar Aljazair, tempat sastrawan Perancis ini lahir 7 November 1913.

Simaklah bagaimana ikan-ikan bergentayangan, dan pesut mati tergolek dalam gelombang ombak sebelum akhirnya teronggok di tepian pantai. Hutan bakau yang biasanya sangat memukau itu terlihat bersimbah minyak mentah (crude oil). Sukma lima nelayan dan pemancing ikan meregang diterjang panasnya api yang sebentuk formasi minyak yang tumpah.

Minyak itu menggenangi lautan dari sumber yang kini mengerucut: dari pipa Pertamina Refinary Unit (RU) V Balikpapan. Semula dampaknya “menebarkan nestapa” seluas 13 ribu hektar untuk selanjutnya meluas 20 ribu hektar sebagaimana dilaporkan Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak Wilayah Kerja Balikpapan, Ahad, 8 April 2018.

Polusi air laut terbersit seketika dengan kadar DO (dissolved oxygen) alias oksigen terlarut di Teluk Balikpapan berada pada skala 3-4, padahal normalnya di atas 5 agar biota air dapat bernafas lumayan lega. Kadar keasaman (pH) airnya pun terentang hanya 4-5, sehingga melanggar baku mutu air laut. Para pencari ikan dari eksotisme Teluk Balikpapan menjadi meradang.

Sukma biota air laut dan lima manusia tercerabut dengan paksa akibat luberan minyak mentah yang semburat dari pipa Pertamina. Minyak itu menyembul setelah pipa terkoyak dalam kelamnya lautan dan kobaran api yang membubungkan kepulan asap pekat yang sangat menggetarkan sukma warga. Sorot mata “sukma ekologis” tersedot ke titik koordinat Teluk Balikpapan yang dikenal dengan ramainya lalu lalang pelayaran sekaligus pendar indahnya pesona alam.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO