​Tantangan Islam Moderat Menghadapi Konflik Global

​Tantangan Islam Moderat Menghadapi Konflik Global Dr. Hariri Makmun, Wakil Direktur Eksekutif ICIS.

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - International Conference of ic Schoars (ICIS) kembali menggelar halaqoh/seminar internasional dengan tema “Tantangan Mederat Menghadapi Perubahan Politik Global”. Seminar ini terlaksana atas kerjasama antara ICIS dengan Badan Nasional Pemberantasan Teorisme (BNPT). Seminar diselenggarakan di Auditorium lantai 3 Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ) pesantren Al-Hikam Depok, Sabtu (24/3).

Seminar akan menghadirkan pembicara dari dalam negeri dan luar negeri yaitu Syeikh Ibrahim Mushtofa Al Buraidi, Sekjen: Liga Ulama Lebanon, Syeikh yahya Hesein Al Gibris, juru bicara liga ulama Lebanon, Febrian Ruddyard, Dirjen Kerjasama Multilateral Kemlu RI dan Brigjen Pol. Hamli M.E., Direktur Pencegahan BNPT.

“Tema tentang moderasi dan rahmatan lil alamin merupakan simbol perjuangan almarhum Kiai Hasyim Muzadi untuk mengaplikasikan nilai-nilai yang ramah dan toleran. Dibalik kelembutan juga ada sisi penegakan keadilan. Sehingga jika nilai-nilai kemanusian diabaikan dan kedzaliman menghiasi setiap sisi kehidupan, maka rahmatan lil alamin harus tampil menegakkan kembali nilai keadilan baik dalam konteks nasional, regional, maupun internasional,” ujar Dr. Hariri Makmun, Wakil Direktur Eksekutif ICIS dalam rilisnya pada BANGSAONLINE.com .

Alumnus Universitas Al Azar Kairo Mesir itu menambahkan, situasi dunia tahun 2018 masih akan dipenuhi dengan berbagai macam tantangan. Meskipun terdapat optimisme pertumbuhan ekonomi dunia, dengan pertumbuhan 2017 sebesar 3,6%, sementara 2018, 3,7%. Namun di sisi lain, masih terdapat berbagai macam ketidakpastian. Instabilitas politik dan keamanan di tingkat global masih menjadi faktor resiko terbesar di tahun 2018. Potensi proxy conflict di berbagai belahan dunia masih akan terus terjadi. Banyak negara menarik diri dari komitmen internasional yang menyisakan tanda tanya besar. Oleh karenanya, kemitraan untuk menghormati hukum internasional dan multilateralisme perlu terus dikembangkan.

Ada 7 pemicu konflik yang akan mendorong situasi global pada tahun 2018 ini dihantui oleh situasi yang tidak menentu. Pertama, uji coba nuklir dan rudal Korea Utara ditambah dengan gagasan permusuhan Gedung Putih, membuat ancaman perang di Semenanjung Korea—bahkan sebuah konfrontasi nuklir yang dahsyat—lebih besar dari pada kapan pun dalam sejarah belakangan ini.

Kedua, persaingan AS-Saudi-Iran. Persaingan ini kemungkinan akan menghiasi Timur Tengah pada tahun 2018. Hal ini dimungkinkan dan diperburuk oleh tiga perkembangan paralel: konsolidasi otoritas Mohammed bin Salman, putra mahkota Arab Saudi yang tegas; strategi Trump yang lebih agresif terhadap Iran; dan berakhirnya kontrol teritorial ISIS di Irak dan Suriah, yang memungkinkan Washington dan Riyadh untuk mengarahkan sorotan lebih tegas terhadap Iran.

Ketiga, Krisis Rohingya di Myanmar telah memasuki fase baru yang berbahaya, mengancam transisi demokrasi Myanmar, stabilitasnya, dan kondisi Bangladesh serta wilayah tersebut secara keseluruhan.

Keempat, prahara politik dalam negeri Yaman. Akibat perseteruan antar elemen politik di Yaman dan juga intervensi Saudi Arabia, di negeri tersebut maka mengakibatkan 8 juta orang di ambang kelaparan, 1 juta kasus kolera yang diumumkan, dan lebih dari 3 juta pengungsi internal, perang Yaman dapat meningkat lebih lanjut pada tahun 2018. Setelah masa ketegangan, demonstrasi, dan serangan bersenjata, mantan Presiden Ali Abdullah Saleh mengumumkan pada bulan Desember bahwa Kongres Rakyat Umum-nya telah meninggalkan kemitraannya dengan Houthi untuk mendukung koalisi yang dipimpin oleh Saudi. Saleh membayarnya dengan nyawanya; dia langsung terbunuh oleh mantan rekannya.

Kelima, Perang saudara di Afghanistan. Perang di Afghanistan tampaknya akan meningkat pada tahun 2018. Strategi baru Amerika Serikat di Afghanistan adalah dengan meningkatkan frekuensi operasi melawan pemberontakan Taliban, dengan lebih banyak pasukan dan serangan udara AS yang lebih hebat, dan serangan darat yang lebih agresif oleh pasukan Afghanistan. Tujuannya, menurut pejabat senior, adalah untuk menghentikan momentum Taliban dan, akhirnya, memaksanya melakukan kesepakatan politik. Untuk saat ini, strategi ini hampir secara eksklusif bersifat militer.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO