​Sumamburat: "Sundayana nan Tirtasewana"

​Sumamburat: "Sundayana nan Tirtasewana" Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

SAYA memaknai tahun 1292-1300 adalah sewindu duka yang berbungkus senyum tak merekah. Tingkah pola serpihan “musuh dalam selimut” yang tidak terima dimutasi ke Sumenep berkoalisi dengan laskar-laskar Mongol menumbangkan Kertanegara. Darah tumpah membanjiri Keraton Singasari di 1292 dan era pancaroba dimulai melalui “poros strategis” dari ujung timur Madura menuju Kediri sambil menelikung “babat alas ”melahirkan Majapahit 1293. Raden Wijaya kang jejuluk Prabu Kertarajasa bertahtah dari 1293-1309 dengan semburat cahaya rembulan akhir tahun 1300. Program kerja Kabinet Kertarajasa mampu meletakkan fondasi keberlanjutan negara meski mengalami pemberontakan internal memperebutkan jabatan serta “tlatah timur” Majapahit sesuai dengan “kontrak politik” Raden Wijaya dengan Arya Wiraraja.

Tetapi alam terus mengirim sinyal keperkasaan sebagai penanda hadirnya zaman baru dari Bumi Jawa dengan cemlorote bintang kemukus di hari pamungkas 1300. Gajah Mada lahir yang gemah tangisnya disambut gempita teritorial Dwipantara, areal Austronesia yang disebut Rakawi Walmiki dalam syair Ramayana sebagai Yawadwipa. Inilah saat kegemparan kosmologis ngudaroso yang rekam jejaknya dapat berandai mula di Sitinggil, Modo, Lamongan, dimana Nyi Ageng Andongsari “nrimo ing pandum” dari Raden Wijaya di Gunung Putri. Sang Joko Modo tumbuh perkasa, di usia 19 tahun (1319) karirnya menonjol sebagai Adika Bayangkari yang mampu menumpas makar Damaputra pimpinan Ra Kuti. Keberhasilannya berbuah manis dengan jabatan Patih Kahuripan (1319-1321) dan Patih Daha (1321-1331) hingga posisi puncak Kemahapatihan 1331- 1364: Patih Mangkubumi Majapahit yang mengemban trisula fungsional-birokrasi: Perdana Menteri, Panglima Perang dan Penganjur Nusantara.

Roda kenegaraan mutlak ada dalam genggam Gajah Mada yang loyal dan berintegritas melalui Sumpah Palapa yang sangat kondang kaloko dan menggema pengucapannya di Balai Manguntur, tempat Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Jabatan di tahun 1331. Sunpah Palapa merupakan garis politik kenegaraan penyatuan Nusantara sebagaimana dirintis oleh Kertanegara di lembar negara Singasari. Kesetiaan Gajah Mada kepada trah Raden Wijaya adalah contoh pribadi berdedikasi. Peristiwa pembunuhan Jayanegara oleh dokter istana, yaitu Ra Tanca di tahun 1328 yang kemudian “diamankan” oleh Gajah Mada agar tahtah dilanjutkan Tribuana merupakan sisik melik yang menarik ditilik.

Dalam rentang PM Gajah Mada menjabat inilah hadir Pakuwon Pajajaran menjelma menjadi Kerajaan di 1333, nyaris setarikan dengan penyatuan Bali di 1334, saat Hayam Wuruk dilahirkan. Hayam Wuruk dididik dengan kecakapan prima mengemban mandat Dampar Kencono tahun 1350 dengan sematan gelar Rajasanegara. Baginda Hayam Wuruk membuat Majapahit moncer atau meminjam bahasa Syahrini, cetar membahana menjadi imperium “Macan Asia” 1350-1370. Raja perjaka ini tahun 1357 saatnya berpendamping wanita unggul dan jelita, maka “pansel” dibentuk untuk melakukan “seleksi nasional” dan terpilihlah Citrasymi alias Diyah Pitaloka, Mojang Priangan, anak kinasih bermartabat terhormat, Raja Pajajaran. Pinangan terhadap Putri Kerajaan Pasundan Baru dilangsungkan dan rotasi romantika digelar atas nama cinta yang membentang asa dari Majapahit bertaut di Tatar Sunda.

Gumparan bahagia mengkristal dalam imaji sejoli yang dibalut “hangatnya kelambu asmara” dengan ikutan agenda pertautan dua negara yang akan semakin mencakrawala kekuasannya. Sepertautan kisahnya laksana “formasi cinta” manunggale Ratu Saba dengan Raja Sulaiman. Cerita “gandrung” yang melegenda sebagai “Kristal kuasa” Kerajaan Nabi Sulaiman yang terabadikan dalam Kitab Suci sebagai otoritas peradaban negara yang tidak ada bandingan kehebatannya, sebelum maupun oleh budaya manusia sesudahnya. Pernikahan Ratu Saba dan Nabi Sulaiman telah mewujudkan dua negara menjadi satu Imperium Global.

Namun itu tidak berlaku di Majapahit dan Pasundan di tahun 1357. Kisahnya menjadi “cinta yang tertikam”. Diyah Pitaloka beserta keluarganya terhempas dalam simbahan luka yang berujung lara yang direguk rakyat sampai kini, akibat tragedi di Lapangan Bubat. Perkawinan yang gagal ditambah dengan “bumi hangus” keluarga kerajaan Pasundan oleh “ambisi politik yang tidak dibarengi dengan diplomasi katrisnan” 2 dari Gajah Mada itu, ternarasi dalam ingatan sosio kultural yang semakin lama semakin manages di hati rakyat Sunda. Peristiwa perih yang menghunjam dalam lubuk peradaba dan terus membuncah pada ingatan yang terdongengkan dari generasi ke generasi ini dibungkus dalam “kelambu” Sundayana.

Dalam lingkup inilah torehan hebat Gajah Mada di tahun yang sama, 1357 dengan menghadiahi Hayam Wuruk melalui keberhasilan Ekspedisi Dompu oleh Laksamana Nala, tidak membuat Sang Raja mengembang senyumnya. Nafasnya tetap ditarik pelan dengan lirih suara Raja Dangdut Rhoma Irama “kegagalan cinta” yang menyemesta. Hayam Wuruk merintih dalam perihnya jiwa atas gelora rindu yang terhuyung pilu dan itu semakin mengelamkan jiwanya, karena justru ulah mempolitisir cinta dengan “penundukan atas nama kemegahan kerajaan”. Sejak itu Gajah Mada merasa bersalah dan menghaturkan “tebusan ruhaniah” melalui mekanisme Paseradaan Agung (“haul akbar”) untuk mengenang almarhumah Gayatri Rajapatni di tahun 1362 dengan ucap pamungkas yang menyentuh “langit tertinggi” keluhuran budi Hayam Wuruk. Gajah Mada berucap: “an wanten rajakaryyolihulih nikanang dharyya harwa pramada”.

Ekspresi Gajah Mada pada saat mengucap “segala titah Raja tidak boleh diabaikan” dengan menyimpuhkan diri “pasrah pongkokan seluruh pengabdiannya kepada sang Raja”, menurut Muhammad Yamin (1945) sambil membungkukkan diri, penuh khidmat. Dari sinilah Gajah Mada mengambil “jalan menepi” dari sengkurat politi menempati tanah hadiah Sang Raja di Madakaripura. Gajah Mada topo kumkum menebus salah membasuh luka jiwa raga Sang Noto. Dalam ritual mandi air suci di Madakaripura inilah, Gajah Mada membopong harkatnya menjemput maut, mengidungkan akhir hayatnya di tahun 1364 dalam tumindak yang dinamakan tirtasewana. Sudahkah kita mampu “mentirtasuwanakan” ego anak-anak dari Majapahit untuk menebus “kepahitan” Pasundan? Penolakan “soal penambahan nama jalan saja” yang kini terbersit, sungguh bukti kukuhnya “titik nasionalisme” semu. 

*Dr. H. Suparto Wijoyo, Coordinator of Law and Development Master Program Post Graduate School Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO