Tafsir Al-Isra 1: Nabi Isra', Jasadnya atau Ruhnya?

Tafsir Al-Isra 1: Nabi Isra

Kedua, jika cuma ruh, lantas dikemanakan peristiwa nyata saat beliau singgah di al-Masjid al-Aqsha yang disaksikan qayyim al-masjid, penjaga masjid. Lalu dikemanakan kasus utusan kaum Quraisy ke hadapan Bitriq, sang penguasa Palestina yang kemudian terjadi perdebatan besar antara delegasi Makkah dan agamawan istana.

Ketiga, dikemanakan gemparnya para kafir Makkah menyangkal isra' dan mi'raj Nabi jika itu hanya ruhnya. Jika hanya ruhnya, maka mereka tidak akan heran dan tidak akan mempersoalkan serta tidak pula akan meminta bukti segala. Paling-paling hanya mengutuk Nabi sebagai benar-benar gila, penipu, dan pelamun.

Lalu, mereka beramai-ramai dan sabar menunggu di batas kota hingga matahari terbenam. Hal itu karena Nabi menyatakan telah berpapasan dengan rombongan kafilah dari suku "X" yang balik pulang dan diperkirakan akan masuk kota Makkah sebelum matahari terbenam.

Keempat, terhadap salah satu istri yang menyatakan: "malam itu tidur dengan saya". Jika yang dimaksud adalah ibu Aisyah R.A., maka itu ahistoris, tidak mungkin. Sebab Rasulullah SAW menikahi (membangun rumah tangga, dukhul pertama) dengan Aisyah pada tahun pertama hijriyah, di Madinah. Sedangkan peristiwa al-isra' terjadi satu tahun sebelum hijrah.

Saat peristiwa isra' terjadi, ada dua pendapat: Pertama, Rasulullah SAW sedang berstatus duda dan dalam keadaan berduka sangat dalam setelah ditinggal wafat istri tercinta, Khadijah bint Khuwailid. Kedua, sudah beristri lagi, yaitu menikahi seorang janda shalihah, Saudah bint Zam'ah. Saudah inilah yang berjuluk "al-muhajirah", satu-satunya istri yang hijrah.

Saat masih menjadi istri al-Sakran bin Amr, Saudah hijrah ke Habasyah, lalu sang suami meninggal di sana. Lalu dinikahi Nabi dan ikut hijrah ke Madinah. Riwayat Saudah dinilai sangat aneh dan tidak populer di kalangan ahli Hadis. Saudah yang keimanannya super mendalam tidak mungkin mengeluarkan pernyataan yang bisa mengurangi keagungan nabi yang notabenenya suami sendiri. Allah a'lam.

Kelima, bahasa yang dipakai Tuhan dalam peristiwa ini adalah "asra bi 'abdih", memperjalankan hamba-Nya. Terma "asra" dipakai untuk kerja fisis, sementara ruh tidak perlu diperjalankan karena sifatnya sudah immateri yang lintas. Begitu pula kata "abdih", hamba. Tradisi bahasa pasti menunjuk bodi, fisik seseorang, bukan ruhnya. Apalagi bila kata "abd" bermakna budak, pasti sosok manusia yang punya kemampuan kerja keras. Tidak ada budak beruapa ruh. Ruh tidak bisa kerja dan tidak bisa diperintah majikan.

Pemikiran tentang isra' dan mi'raj hanya ruh sekilas nampak kritis dan mencerminkan nalar akademik yang brillian. Tapi di balik itu tersirat arah penyederhanaan terhadap peristiwa tersebut, sehingga menjadi biasa, tidak mukjizat dan tidak luar biasa lagi. Arah inilah yang diingini oleh nonmuslim, termasuk orientalis. Dengan pemahaman tersebut, maka tidak lagi ada keimanan yang mesti ditingkatkan via al-isra' dan al-mi'raj.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO