​Sumamburat: "Persekutuan Orang-orang Gila"

​Sumamburat: "Persekutuan Orang-orang Gila"

Oleh: Suparto Wijoyo*

TIGA belas wanita meninggal, semuanya dibunuh secara kejam, dan tujuh perempuan lain cedera parah. Kejadian itu benar-benar mencengangkan. Selama lebih dari lima tahun, Yorkshire, di utara Inggris, diteror seorang pria yang terkenal sebagai “Yorkshire Ripper”. Nyaris 20 tahun polisi belum juga sampai pada penelusuran jejak si pembunuh.

Tentu di abad ilmu pengetahuan forensik modern, pastilah dapat bekerja lebih cepat dari itu. Namun, ketika polisi akhirnya menahan seorang supir truk bernama Peter Sutcliffe, hal itu lebih dikarenakan kesempatan yang menguntungkan. Jadi, ke mana saja polisi selama ini?

Malangnya, serangan yang keji terhadap wanita bukanlah tidak biasa, dan serangan itu seringkali dilakukan oleh seseorang yang dikenal korban. Ketika Anna Rogulskyj diserang dengan kejam dari belakang, pacarnyalah justru yang pertama diperiksa polisi. Tapi tak lama kemudian diketahui bahwa sang pacar tidak ada kaitannya dengan penyerangan ini.

Anna Rogulskyj selamat, tetapi ia tidak dapat mengingat apapun tentang penyerangan. Pria yang menyerangnya tidak merampoknya. Sebenarnya, tampak tidak ada motif di balik serangan itu. Serangan demi serangan itu merupakan sebuah misteri.

Begitulah sepenggal cerita yang termuat di buku True Stories of Crime & Detection karya Gill Harvey (2003). Buku yang membuat saya membaca, membaca, dan membaca lagi mengenai kisah nyata tentang kriminalitas dan penyidikan di bentara lautan informasi dewasa ini.

Kisah yang semakin aktual untuk saya baca ulang sehubungan dengan kajadian-kejadian ganjil: pembunuhan ulama di Jawa Barat yang ramai dilakukan oleh orang gila menurut perspektif “dunia lain”. Kejadian yang juga pernah menimpa keluarga kiai di Jombang di era 1990-an, serta menyeruak di kasus “kolor ijo” maupun “Ninja Banyuwangi” tahun 1998.

Konteksnya nyaris serupa dalam genderang politik nasional yang menghangat. Merujuk Laporan Tim Pencari Fakta dari KISDI amatlah terang “cerita” pembantaian ulama di Banyuwangi saat itu “dilakukan orang-orang gila” yang mampu bertindak sistematis.

Media Dakwah pada Rajab 1419/November 1998 menurunkan berita Teror di Banyuwangi, Pembantaian Umat Islam di Negeri Islam. Tragis. Menyedihkan. Pembantaian umat Islam di negara mayoritas penduduknya Islam. Begitu dituliskan dan hal ini bagi saya merupakan wujud betapa ngerinya pengulangan sejarah yang melibatkan “orang gila” dalam “membungkam ulama”.

Sebuah narasi historiografi yang “sangat elegan” dimainkan oleh siapa saja yang tidak siap untuk tidak berkuasa. Nikmatnya kekuasaan harus diraih meski dengan “menumpahkan darah” di jalanan, dan itu amat kentara, paham apa yang “menghalalkan segala cara”. Padahal demokrasi mengajarkan pencapaian kekuasaan dengan tetap pada aturan main, konstitusi wajib dijunjung tinggi sedasar aliran negara hukum (rechtsstaat).

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO