Tafsir Al-Quran Aktual: Idul Fitri, Makna dan Dakwah

Tafsir Al-Quran Aktual: Idul Fitri, Makna dan Dakwah Ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Ayat kaji kemarin (125) mengangkat soal tiga cara berdakwah, yakni: al-hikmah, al-mau'idhah al-hasanah dan mujadalah husna. Meski pemaknaan Idul Fitri dulu pernah dibahas, kini disempurnakan sebagai khazanah keilmuwan, sekaligus upaya memahamkan makna tersebut lebih luas.

Dari fi'il madli: 'ada, ya'udu, 'aud. Artinya "kembali". Sedangkan kata "Id" dalam tradisi bahasa arab tidak dipakai sebagai masdar dari fi'il tersebut. Kata "id" adalah ideom khusus untuk membahasakan hari raya, hari berpesta pora, hari bersenang-senang. Sekali lagi, yang "kembali" itu bahasa arabnya " 'Aud " bukan "Id".

Makanya ada istilah "id mubarak" (perayaan berbarakah). Dan, al-Qur'an sendiri menggunakan kata "id" juga untuk makna "hari pesta". Bisa dilihat pada tuntutan mereka kepada nabi Isa A.S. agar ada makanan lezat turun dari langit yang kemudian akan dijadikan hidangan berpesta ('Id). "Takunu lana 'ida li awwalina wa akhirina" (al-Maidah:114).

Kata "fitr", fatara, yafturu, fitr untuk makna semua aktivitas pertama. Penciptaan awal disebut fitr, fitrah. Makan pertama hari itu, yang lazim kita namai sarapan pagi disebut "futur". Karena berbuka puasa itu makan pertama di hari itu, meskipun ada pada awal waktu malam, maka orang arab menyebutnya "iftar".

Tinjauan historis menunjuk, bahwa sebelum islam datang, wong arab jahiliah telah mempunyai dua hari raya yang dirayakan besar-besaran dengan berpesta pora dan hura-hura. Yaitu hari raya NAIRUZ dan MIHARJAN. Lalu Islam datang dan umumnya sahabat masih ikut berpesta ria pada dua hari raya tersebut, membaur seperti sedia kala.

Sungguh tidak ada larangan waktu itu. Tetapi beberapa sahabat yang keimanannya bagus dan ketaqwaannya terbangun mulai risih dan malu mengikuti pesta pora ala jahiliah. Satu sisi pingin bergabung dan berpesta, tapi sisi lain merasa kurang pantas. Fenomena ini ditangkap oleh Allah SWT, lalu ditunjuklah penggantinya, yaitu dua hari raya: IDUL FITRI dan IDUL ADHA yang dilengkapi dengan acara religi dan ibadah sesuai konteks masing-masing.

Begitu dua hari raya itu disyari'atkan, Rasulullah SAW berkomentar: "Qad abdalakum Allah khaira minhuma, Id al-fitri wa id al-nahri. Kini Allah SWT telah mengganti kalian dengan dua hari raya yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Id al-Nahri. Nahr adalah nama lain dari al-Adha atau Idul Qurban.

Jadi Idul Adha itu pesta makan besar, makan daging. Adha, Udhiyah bermakna "dzabihah", sembelihan. Maka pola pestanya berbeda. Idul Fitri sekedar pesta makan pagi, tanpa ditunjuk menu atau lauk pauk khusus, sedangkan Idul Adha ditunjuk menu dan lauknya, yaitu daging ternak, unta, sapi, kambing yang dijadikan hewan qurban.

Jadi, ditinjau dari perspektif kebahasaan, tradisi dan kesejarahan, maka "idul fitri" itu maknanya "HARI PESTA MAKAN", "HARI RAYA MAKAN PAGI". Disebut demikian karena selama sebulan penuh umat islam tidak diperkenankan makan pagi, harus menunggu sampai malam tiba. Nah, pada hari pertama bulan Syawal, di mana bulan Ramadhan telah lewat, maka disilakan berpesta makan.

Itulah sebabnya, maka agama melarang berpuasa pada hari pesta itu dan hukumnya haram. Pelanggarnya dianggap durhaka dan berdosa. Ulama' Fuqaha' meyebutnya sebagai "Yaum al-dliyafah", hari suguh tamu. Allah SWT pada hari itu menyuguhi hidangan untuk hamba-Nya yang sebulan penuh telah berpuasa Ramadhan. Seolah Tuhan berkata: "Wahai hamba-Ku tersayang, silakan nikmati hidangan yang telah Aku suguhkan".

Untuk itu, beberapa terma arab menyebut "yaum al-fitri, yaum yaftur al-nas". Hari fitri, hari orang-orang pada makan-makan, sungguh memperkuat makna tersebut. Makanya, fiqih melarang berpuasa.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO