Leo Kristi, Menempuh Jalan Sunyi, Hidup Tidak dengan Jalan Nalar‎

Leo Kristi, Menempuh Jalan Sunyi, Hidup Tidak dengan Jalan Nalar‎

Oleh: Damar Huda

Susah mengajak Leo Kristi "hidup normal" sesuai jalan nalar. Penyanyi, komposer, pelukis, pengelana ini, menembuh "hidup balada"; gak cuma lagu2nya, tapi hidupnya sendiri, sangat balada.

Suatu ketika, ia konser di Balai Budaya di Yogyakarta. Di tengah konsernya, tiba-tiba di tinggal ke belakang gedung, rokok'an. Penonton gaduh. Leo cuek dan tenang.

Suatu ketika, Leo diundang konser akbar, tapi ia muncul di panggung, dengan mulut diplester, cuma mau main gitar, gak mau nyanyi.

Suatu ketika lagi, ia naik panggung, ngajak anaknya yang bayi, ditaruh di atas piano. Si anak memainkan tuts piano, "ting..tong.. teng...tong.." spontan Leo nyaut dengan petikan gitarnya.

Leo, menempuh jalan sunyi, yang tak mengikuti nalar kebanyakan orang.

Suatu ketika, tahun 1993, Franky Sahilatua, membawanya ke dapur rekaman mainstream, lahirlah hits "Catur Paramitha". Cuma Leo gak mau dibuat konsep promosi klipnya, susah diajak konser promo di TV, dan seperti biasa, ia menempuh jalan sunyi, dengan menolak nalar kebanyakan.

Leo, hidup bersungguh-sungguh dengan alam, dan kehidupan yang mengelana, "sangat balada."

Surabaya pernah punya tiga legenda ; Leo Kristi, Franky Sahilatua dan Gombloh. Ketiganya pernah satu group; Lemon Tree's.

Kemarin, Sabtu (20 Mei) -- persis di Hari Kebangkitan Nasional -- saya dapat kabar Leo Kristi meninggal dunia. Innalillahi Wainna Lillaihi Rojiun.

Surabaya -- dan Indonesia tentunya -- telah kehilangan lima komposer legendarisnya; Leo Kristi, Gombloh, Franky Sahilatua, Buby Chen (jazz) dan WR Soepratman (pencipta "Indonesia Raya").

Leo lahir di Surabaya, 8 Agustus 1949. Tahun 1967, keturunan bangsawan, ayahnya Raden Ngabei Iman Soebiantoro. Masuk SMP, Leo kursus gitar pada Toni Kerdijk, Direktur sekolah musik rakyat.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO