Tafsir An-Nahl 99-100: Banser Lebih Suka Membela Gereja, Ketimbang Agama yang Dinista

Tafsir An-Nahl 99-100: Banser Lebih Suka Membela Gereja, Ketimbang Agama yang Dinista

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Saat benar-benar terjepit dan butuh, baru Jokowi merangkul kiai NU dan Muhammadiyah untuk bareng menghadapi demo. Kata media, demo 4 November itu demo sejuta umat yang paling bersih dan santun. Tapi di malam hari ada pembakaran mobil yang menurut sebagaian sumber, justru polisi sendiri yang membakar.

Itu mungkin untuk alasan mengutuk pendemo sebagai bertindak anarkis. Dengan anarkis buatan itu, lalu dijadikan alasan polisi untuk menindak para demontrans. Itu sudah trik klise dan lama. Mudah-mudahan demo 4 November kemarin menjadi demo teladan bagi pendemo selanjutnya dengan mengambil yang baik-baik. "Wa qad jaff al-qalam", demo sudah terjadi dan itu kehendak-Nya. Pasti banyak hikmah yang bisa kita petik.

Pertama, bahwa semua yang terjadi di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Semua sudah digariskan oleh Tuhan atas dasar iradah-Nya, lepas dari pertimbangan manusia, suka atau tidak suka. Berbahagialah orang yang berserah diri kepada-Nya dan celakalah orang yang pongah dan durhaka.

Agama melarang kita berkata andai: "Waduh, andai saya tahu begini, saya tadi pasti melakukan begini... dst…". Itu sama dengan menafikan peran Tuhan. Anda melakukan dan tidak melakukan, sesuatu terjadi dan tidak terjadi, adalah hal yang sudah digariskan sebelumnya. Itulah keimanan.

Kedua, tiba-tiba Habib Rizieq mendapat tempat di hati jutaan umat islam yang peduli izzul islam wa al-muslimin. Soal apakah ini "al-izzah" dari Allah atau apa, itu soal lain. Harus diakui, demo ini paling raksasa dan menyeluruh. Tidak hanya di ibukota, di kota lain juga banyak, bahkan di luar negeri.

Dari sini terbaca, bahwa "jutaan umat islam" militan tengah mendapatkan tokoh yang representatif yang sesuai dengan jiwa militansi mereka sebagai orang beriman yang bermartabat, yang punya semangat ber-amar ma'ruf dan nahi munkar. Hal mana selama ini tidak didapatkan dari tokoh agama lain, meski dari petinggi organisasi keagamaan, seperti kiai dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) atau tokoh dari Muhammadiyah.

Kiai NU cenderung diam dan lemah menghadapi musuh islam yang sedang beraksi, apalagi terhadap pelaku maksiat yang merajalela dengan alasan toleransi, santun, rahmatan li al-alamin, meski mereka terang-terangan tidak toleransi sama sekali kepada perasaan mayoritas, tidak santun, cenderung menguasai dan berbuat seenaknya.

Alasan di atas sungguh kata-kata yang bijak dan menyejukkan, sekaligus membingungkan. Rakyat bingung, apa bedanya santun dengan budeg? Apa bedanya toleransi dengan membiarkan? Apa bedanya rahmatan li alamin dengan lemah iman? Toh nyatanya diam dan tidak berbuat apa-apa. Baru bisa disebut "rahmatan li alamin" dan bijak jika sudah berbuat dengan amal nyata.

Amal nyata itu antara lain: mencegah pelaku maksiat, mencegah kejahatan musuh agama dengan apa yang dia bisa secara bijak dan manusiawi, menghentikan dengan nasehat yang efektif nan mendinginkan, lalu mereka berhenti atau mengurangi keburukannya. Kalau hanya diam atau menasehati pakai kata-kata filosufis, bahasa metoforik dan tidak jelas, ya gak bakalan digubris. Maksiat terus jalan dan kafir terus terus berulah.

Lebih menyedihkan lagi, kiai seni yang nyabdo macam itu sudah merasa dirinya bijak, santun, menyejukkan dan rahmatan li alamin. Ya mesti saja, karena sabdonya itu dinggap bukan nahy 'an al-munkar bagi mereka, malah dianggap "ngajangi ombo", memberi restu dan peluang. Jika seperti itu adanya, maka sabdo kiai lemah iman itu lebih pas disebut "rahmatan li al-kafirin", bukan "li rahmatan al-'alamin".

Masih ingatkah kita saat Habib Rizieq dengan pekik takbir, Allah Akbar di jalan-jalan saat bertindak nahy an al-munkar dulu, seperti merazia tempat maksiat di bulan puasa?

Jihad Habib itu sering dibuat guyonan oleh sebagian kiai NU dalam ceramah-ceramah. Allahu Akbar, 10 ribu. Sami'allahu liman hamidah, 20 ribu yang diiringi gelak tawa hadirin Nahdliyin. Tuhan maha adil, Habib yang dijadikan guyonan itu kini tampil begitu kharismatik dan menjadi imam bagi juataan umat dengan izin Allah, di mana pengaruhnya jauh melampaui mereka yang dulu menertawakan.

Jika mau menguji keluhuran derajat Habib Rizieq spesial soal ini, silakan..! Siapa di antara kiai kita, NU atau Muhammadiyah yang ditokohkan dan bisa memobilisasi umat turun ke jalan menuntut keadilan, membela al-qur'an, membela agama yang dinista, di mana jumlah mereka, damainya, bersihnya dan serentaknya seperti itu? Kita ini pandai mentertawakan orang lain, tapi tidak pandai mentertawakan diri sendiri.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO