Hermawan Kertajaya Wasiat, Jika Meninggal Mayatnya untuk Fakultas Kedokteran Unair

Hermawan Kertajaya Wasiat,  Jika Meninggal Mayatnya  untuk Fakultas Kedokteran Unair Hermawan Kertajaya. Foto: markplus

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Ini wasiat Hermawan Kertajaya, kondang. Ia  berwasiat  jika meninggal mayatnya diserahkan ke Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga untuk dijadikan praktik kuliah anatomi. Benarkah?

Simak tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di BANGSAONLINE.com hari ini, Ahad (20/11/2022) di bawah ini.

PUN setelah meninggal dunia nanti. Ia ingin tetap jadi guru. Ia sudah menemukan caranya: jadi .

Maka ia ingin menyumbangkan mayatnya kelak untuk fakultas kedokteran. Dengan cara itu mayatnya tetap bisa menjadi guru bagi para mahasiswa yang ingin jadi dokter.

Itulah guru sepanjang hayat: Hermawan Kartajaya. Ia berulang tahun ke-75 kemarin malam. Ia menandai ultahnya itu dengan menandatangani wasiat agar kalau meninggal kelak mayatnya diserahkan ke fakultas kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Pelajaran anatomi, mata kuliah dasar bagi calon dokter, tidak bisa sempurna tanpa menyajikan mayat di ''ruang'' kuliah.

Hermawan banyak bicara kematian di ulang tahunnya itu. Padahal, saya lihat, ia justru lebih segar dibanding, misalnya, lima tahun lalu. Suaranya masih serak-serak keras. Intonasinya masih naik-naik sesuai dengan semangatnya. Langkahnya masih tegap untuk ukuran orang yang lama menderita diabetes.

Dua hari sebelum ulang tahun, dan sehari setelahnya, Hermawan sibuk di rangkaian acara itu. Ia ke Banyuwangi naik kereta wisata. Ia ke ITS dan untuk memberi kuliah umum. Ia ke Kapasari gang V untuk melihat rumah masa kecil dan mudanya. Ia sembahyang ke gereja Katolik yang hanya setahun sekali ia kunjungi. Ia ke Karanganyar melihat proses daerah di selatan Solo itu menjadi 'Kabupaten Pancasila'.

Puncaknya, Hermawan mengundang makan malam sejumlah kerabat. Ya, kemarin malam itu. Ada pejabat tinggi yang hadir malam itu. Tinggi sekali: tingginya 2,25 meter. Beliau adalah Duta Besar Republik Ceko untuk Indonesia: Jaroslav Dolecek.

Hermawan adalah konsul kehormatan Republik Ceko sejak negara itu masih Ceko Slovakia. Wilayah kerja awalnya: Jatim, Jateng, dan Yogyakarta. Saya satu meja dengan pejabat tinggi itu. Kalau bicara dengannya saya harus mendongak.

Ketika tampil dengan mikrofonnya Hermawan keliling ke meja-meja undangan. Beberapa orang ia tanya: apakah mau mengikuti dirinya menjadi . Tidak satu pun ada yang mau. Padahal dengan cara itu kehidupan seseorang akan lebih abadi.

Ada yang beralasan bagaimana nanti dengan keluarganya. Ke mana akan ziarah kubur. Sebenarnya itu hal mudah. Paman saya meninggal di Makkah. Mayatnya dimakamkan di sana. Tapi di kuburan keluarga di Takeran, Magetan, dibuatkan kijing, di sebelah kijing (nisan) ayah saya. Ke situlah anak-anak paman saya ziarah. Maka meski pun jenazahnya nanti ada di fakultas kedokteran toh bisa dibuatkan kijing seolah ada di kuburan.

Bagi orang yang usianya sudah lebih 75 tahun, wasiat menjadi memang lebih tepat daripada wasiat donor organ. Mungkin sudah sulit menjadikan organ orang yang sudah tua untuk donor transplant.

Donor organ lebih tepat dilakukan untuk yang lebih muda. Di Singapura itu sudah jadi undang-undang. Barang siapa meninggal tanpa ditemukan wasiat 'tidak bersedia jadi donor organ' berarti dia/ia bersedia. Maka tanpa perlu minta izin keluarga pemerintah bisa memanfaatkan organ apa saja pada mayat tersebut.

Itu merupakan kemajuan dari undang-undang sebelumnya. Yakni: bagi orang meninggal yang di dompetnya ditemukan wasiat boleh menggunakan organnya untuk donor, maka pemerintah langsung bisa mengambil organnya untuk donor. Sekarang, itu dibalik: yang tidak ditemukan larangan, berarti boleh.

Sudah banyak negara yang memberlakukan aturan seperti itu. Tapi di Indonesia baru Hermawan yang secara terbuka mewasiatkan nya untuk materi kuliah.

Hermawan itu guru sejati. Guru modern. Guru yang menciptakan kurikulumnya sendiri. Ia memang pernah menjadi profesional di perusahaan besar. Sampai jadi level direktur di perusahaan sebesar Sampoerna. Ia tidak tahan. Ia berhenti. Ia pamit untuk jadi guru lagi: guru marketing.

Putra Sampoerna, pemilik pabrik rokok Dji Sam Soe itu, sampai heran. Gaji di Sampoerna kan besar. Mengapa berani berspekulasi untuk mencoba jadi guru marketing. Belum jelas pula pasar ya. Ketika Hermawan akhirnya mendirikan MarkPlus, ia diejek pakai bahasa Suroboyoan: mak ples. Artinya: tiba-tiba meredup untuk kemudian padam.

Hermawan awalnya memang guru matematika di SMP swasta Sasana Bhakti di Jalan Jagalan. Ayahnya pengurus sekolah di tempat lain. Ibunya guru. Lalu Hermawan mengajar di SMA St Louis Surabaya. Orang seperti menteri Ignatius Jonan, konglomerat Harry Tanoesoedibyo dan Kepala Pajak Jatim Prof John Hutagaol adalah murid-muridnya di St Louis.

Hermawan bukan sarjana. Ia pernah kuliah di ITS jurusan elektro. Sudah hampir selesai. Tapi ia berhenti. Ia bekerja. Ia memberi les matematika pada banyak sekali anak-anak. Ia perlu uang. Ia tergolong keluarga miskin di Jalan Kapasari Gg V Surabaya. Kampung itu tidak jauh dari Stadion 10 November Tambaksari. Saya ikut Hermawan ke rumah di gang sempit itu Jumat lalu. Ia bernostalgia di rumah yang sudah dijual ke orang lain dan orang lain itu sudah menjual pula ke lainnya lagi.

Hermawan pandai menulis. Tulisannya hidup. Topiknya selalu soal marketing yang praktis. Ia jadi solusi bagi kesulitan banyak perusahaan atau manager marketing di perusahaan itu.

Dulu, saya memintanya untuk menulis di Jawa Pos. Secara rutin. Tiap hari Rabu. Waktu itu saya perlu menaikkan gengsi Jawa Pos dengan menampilkan penulis terkenal dari kalangan pengusaha Tionghoa. Hermawan menyambut antusias tawaran saya itu. Ia merasa mendapat panggung besar. Maka antara Jawa Pos dan Hermawan seperti joki dan kuda. Bergantian siapa yang jadi Joki dan siapa yang menjadi kuda.

Orangnya disiplin.

Tulisannya tidak pernah absen di hari yang ditentukan. Pun ketika ia di luar kota. Atau dalam penerbangan jauh. Pernah ia menulis di atas pesawat. Pakai tulisan tangan. Sampai di bandara tujuan tulisan itu dikirim pakai faksimile. Ia gigih seperti wartawan profesional. Ia memegang teguh deadline. Padahal belum ada email saat itu. Belum ada modem. Apalagi HP.

Hermawan itu sama: tulisannya sebagus omongannya. Dan sebaliknya. Ada orang pandai menulis tapi tidak pandai bicara. Atau pandai bicara tapi tidak pandai menulis. Hermawan jago di dua-duanya.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO