Gagal "Ngopi Bareng", Menlu Rusia Walk Out dari Pertemuan Menlu G20 Bali

Gagal "Ngopi Bareng", Menlu Rusia Walk Out dari Pertemuan Menlu G20 Bali Dahlan Iskan. Foto: ist

DENPASAR, BANGSAONLINE.com Indonesia kembali gagal menengahi perseteruan Rusia dan negara-negara Barat. Terutama AS. Sergey Lavrov walk out dalam pertemuan Menlu G20 Nusa Dua . Tapi benarkah negara-negara Barat tak bisa mengalahkan Rusia?

Nah, tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA pagi ini, Senin (11/7/2022) menjawab pertanyaan itu. Anda juga bisa baca tulisan itu di BANGSAONLINE.com di bawah ini. Selamat membaca: (PENGANTAR REDAKSI BANGSAONLINE.com)

SKORNYA berubah dari 20-1 menjadi 19-0. Akhirnya terjadilah yang kita harapkan tidak terjadi: walk out. Sergey Lavrov meninggalkan ruangan. Pertemuan Menlu G20 di Hotel Mulia, Nusa Dua, , Kamis lalu itu pun menjadi monoton.

Indonesia sebenarnya realistis. Tidak harus mencapai kesepakatan. Terlalu sulit. Yang penting, jangan sampai ada yang walk out. Harapan minimal itu pun tidak bisa terpenuhi.

Ada filosofi mendasar mengenai sikap negara-negara Barat seperti itu: perfect. Filsafat itu digambarkan dengan sangat baik oleh Prof Kishore Mahbubani dari Singapura. Di mata Barat, segala sesuatu itu harus perfect. ”Baik” belum cukup bagi Barat. Harus ”perfect”.

”Akhirnya ’perfect’ menjadi musuh bagi ’baik’,” tulisnya dalam sebuah artikel menjelang pertemuan itu.

”Perfect” yang dimaksud Barat kelihatannya adalah: Rusia harus kalah, menghentikan perang, mundur dari Ukraina, NATO terus diperluas sampai Ukraina, Swedia, Finlandia.

”Good” adalah gencatan senjata, harga energi turun, pabrik pupuk bisa berproduksi, petani kembali menghasilkan bahan pangan, dan dunia tidak terancam kelaparan.

”Bad” adalah perang berkelanjutan –apalagi dengan irama slow seperti sekarang ini.

”Worst” adalah perang nuklir.

Mungkin memang sulit bagi Barat untuk belajar menjalani hidup yang tidak sempurna. Kita bersyukur sudah terbiasa menjalani yang serbakurang: makan sekadarnya, naik kendaraan umum apa yang tersedia, dan bisa menerima suami apa adanya. Sampai mati sendiri.

Pertanyaannyi –meminjam istilah pelawak Tukul Arwana– ”Kalau memang Barat mau perfect seperti itu, mengapa tidak serius mengalahkan Rusia,” kata Mahbubani.

Cak Lontong pun tidak berhak menjawab itu. Mahbubani sendiri yang menjawab, ”Itu tidak mungkin.”

Kalau itu dilakukan, yang terjadi adalah seperti yang digambarkan di sebuah lagu dangdut yang akan datang: ”the perfect yang dikejar, the worst yang didapat”.

Sebenarnya Barat pernah menerima ketidak-perfect-kan di masa yang tidak terlalu nan silam: Krimea. Barat membiarkan Krimea diduduki Rusia sejak 2014.

Apakah berarti Barat juga harus menerima dua provinsi bagian timur Ukraina merdeka?

Tidak harus begitu. Itulah perlunya perundingan. Kontak. Bertemu. Jangan walk out dan jangan membuat ada pihak yang walk out. Setidaknya belajarlah mulai mendengar. Terutama mendengar curhatan Indonesia dan India dan negara yang bukan anggota G20 seperti Sri Lanka.

Penduduk negara Barat itu, kata Mahbubani, jumlahnya hanya 18 persen. Selebihnya masih 82 persen. Apakah suara yang 82 persen itu tidak perlu didengar.

India, misalnya, sangat ingin didengar. Negara itu tidak cukup punya sumber energi. Lebih lagi Pakistan. India terpaksa impor minyak dari Rusia. Barat mengecam dan mempersalahkan India. Padahal itu, bagi India, menyangkut hidup dan mati 1,5 miliar manusia.

”Nilai migas yang kami impor dari Rusia itu, selama sebulan, hanya sama dengan impor Eropa dari Rusia satu petang,” ujar Menlu India.

Lihat juga video 'Sekap WNA Ukraina, Lima Bule di Denpasar Mengaku Polisi Internasional':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO