Oleh: Mukhlas Syarkun---Para pendiri bangsa menyadari bahwa kemajmukan, baik dari segi suku, agama dan ideologi, menyimpan potensi konflik sosial. Oleh sebab itu, para tokoh pendiri itu telah meletakkan pondasi berbangsa dan bernegara sebagai antisipasi agar konflik sosial dapat diminimalisir.
Berikut ini ditampilkan kutipan diskusi para tokoh pendiri bangsa, sebagaimana penuturan oleh KH. Masykur (saksi sejarah). Beliau menuturkan:
BACA JUGA:
- KH Cep Herry Syarifuddin: Nasab Habaib Terputus dengan Rasulullah SAW
- [HOAKS] Cina dan Israel Bekerja Sama untuk Menghapus Agama dan Pancasila di Indonesia
- Kajian Ramadhan Ramah Anak: Peringatan Keras Rasulullah pada Orang Tua Lalai Jaga Anak
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
“….di rumahnya Mohammad Yamin, saya (Kiai Masykur), Wahid
Hasyim, Kahar Mudzakkir dari Yogyakarta, bertiga, berempat dengan
Yamin sedang berdiskusi, disusul Bung Karno yang datang kemudian…”
Setelah membahas sila pertama kemudian Bung Karno sebagai moderator melanjutkan diskusinya, Berikut ini :
“… Bangsa Indonesia itu satu sama lain memang begitu karakternya, kalau datang dikasih wedang, kalau waktu makan dikasih makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai-sampai kalau sama-sama menemani.’
“Kalau begitu”, kata Bung Karno, “bangsa Indonesia itu dulu bangsa yang perikemanusiaan. Satu sama lain suka menolong, kerjasama, perikemanusiaan”.
“Lantas kita, sama (Wahid Hasyim), menanggapi…. “Kemanusiaan boleh, tapi harus yang adil. Jangan kalau diri sendiri salah lalu tak diapa-apakan, sementara kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kata Rasulullah: Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong tangannya: Siti Fatimah putri Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya, kalau salah, ya salah, dihukum. Ini Islam. Ya, ini memang yang benar”.
Lantas ada lagi. Bung Karno katakan: “Siapa dulu…?”