Berkah Orang Tua, Menantu Gus Dur Dirikan Pesantren Coding, Dahlan Iskan Terjebak Lomba Lukis | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Berkah Orang Tua, Menantu Gus Dur Dirikan Pesantren Coding, Dahlan Iskan Terjebak Lomba Lukis

Editor: MMA
Jumat, 22 Oktober 2021 10:01 WIB

Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Ternyata banyak tokoh yang mendapat berkah setelah menyingkir dari dunia politik. Mereka lebih bermanfaat bagi orang lain, ketimbang ketika aktif dalam politik. Setidaknya, inilah yang dialami Dhohir Farisi, alias suami Yenny Wahid.

Benarkah? Simak tulisan wartawan terkemuka, Dahlan Iskan, di Disway, Kamis, 22 Oktober 2021. Di bawah ini BANGSAONLINE.com yang menurunkan secara lengkap. Khusus pembaca di BaBe, sebaiknya klik ‘lihat artikel asli’ di bagian akhir tulisan ini. Tulisan di BaBe banyak yang terpotong sehingga tak lengkap. Selamat membaca:

SATU keluhan orang tua bisa jadi berkah bagi anak. Bermula dari harga gabah yang turun di kala panen. Sang ayah, petani, curhat pada sang anak –yang tinggal di Jakarta.

Sang anak mengerti perasaan bapaknya. “Pak, akan saya carikan tengkulak yang mau membeli dengan harga baik,” ujar sang anak menenangkan hati bapaknya.

Sang anak tidak berterus terang bahwa tengkulak itu ia sendiri. Tanpa ia tahu akan diapakan gabah sebanyak itu.

Dari peristiwa itulah sang anak baru tahu: harga beras bisa lebih baik kalau dijaga kualitasnya. Salah satu penanda kualitas itu adalah: kadar remuk-nya harus rendah.

Nama anak itu: Dhohir Farisi

Sang ayah: petani di Probolinggo.

Pekerjaan sang anak: pernah menjadi anggota DPR dari Partai Gerindra. Lalu tidak mau lagi dicalonkan. Pun oleh partai yang lain, termasuk partai yang pernah dideklarasikan mertuanya: KH Abdurrahman Wahid.

Padahal, istri Faris, Yenny Wahid, tidak pernah melarang sang suami untuk aktif di politik. Faris sendiri yang insaf.

Gara-gara keluhan ayahnya itulah Faris tergerak mendorong petani untuk memproduksi beras premium. Faris yang akan membeli beras premium itu. Untuk dikemas menjadi beras bermerek: Bintang Sembilan. Itu memang mengingatkan orang pada lambang Nahdlatul Ulama.

Lain kali Faris menerima keluhan lain lagi: ada orang tidak mampu menyekolahkan anak. Orang itu merayu Faris untuk membeli tanahnya di Sleman, Jogjakarta.

Faris tidak pernah punya niat punya rumah di Jogja. Faris memilih membantu saja uang kuliah anak itu. Ia tidak punya pikiran untuk menyimpan tanah. Apalagi harus tinggal di kota itu.

Kian lama uangnya kian banyak yang dipakai biaya kuliah. Itu pun belum cukup. Dan lagi tanah di Jogja itu juga nganggur. Maka Faris menerimanya sebagai pembayaran utang biaya kuliah tersebut.

Dan pandemi datang. Kian parah. Faris terpikir untuk menyingkir dari Jakarta. Tapi ke mana? Ia ingat tanah di Sleman itu. Ia bangun rumah di situ. Di desa sekali. Hanya mobil kecil yang bisa masuk-masuk ke jalan di desa itu.

Selama pandemi, Faris dan Mbak Yenny dan tiga anak lebih banyak di Sleman. Selama pandemi pula mereka taat pada nasihat sehat: perbanyak makan sayur dan buah. Lalu Faris terpikir membina petani yang menanam sayur.

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video