Pilkada Serentak 2020, Khos bil Khos | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Pilkada Serentak 2020, Khos bil Khos

Editor: Redaksi
Senin, 10 Agustus 2020 12:54 WIB

M. Syuhud Almanfaluty.

Oleh: M.Syuhud Almanfaluty*

9 Desember 2020, bisa dibilang khos bil khos (khusus dengan khusus). Sebab, pilkada kali ini digelar pada saat bangsa Indonesia tengah diuji musibah badai pandemi virus Covid-19 (Corona).

Dampaknya, ekonomi Indonesia anjlok hingga di angka minus kisaran 5,23 persen. Fakta ini, tentu juga berimbas buruk terhadap stok finansial rakyat. Ekonomi masyarakat terseok-seok.

Banyak masyarakat kehilangan pekerjaan. Sehingga, nganggur. Sementara kebutuhan perut dan kebutuhan dasar lain, harus tetap jalan.

Di sinilah idealis masyarakat akan diuji di 2020. Apakah mereka akan tetap mengedepankan teman, kelompok, loyalitas, atau ikut-ikutan mencoblos (memilih) pasangan calon yang konon mempunyai popularitas dan elektabilitas tinggi?

Sebab, popularitas dan elektabilitas tinggi seorang paslon bukan jaminan bisa  memenangkan sebuah pertarungan 2020. Banyak variabel agar bisa memenangkan Pilkada. Terlebih, saat ekonomi sulit mendera masyarakat karena hantaman badai Covid-19.

Dari pengamatan penulis di sejumlah pesta demokarasi, baik pileg (pemilu legisalif), pilkada (pemilihan kepala daerah), hingga pilkades ( pemilihan kepala desa) belakangan ini, popularitas dan elektabilitas seorang calon tak lagi menarik untuk dibangga-banggakan oleh seorang calon yang akan maju memperebutkan singgasana kekuasaan.

Mengapa? Sebab, faktanya banyak seorang calon yang popularitas dan elektabitasnya tinggi, ternyata tumbang (kalah) dengan newcomer (pendatang baru), karena salah langkah.

Sebagai contoh, Pilgub Jatim, Pileg 2019, dan Pilkades serentak 2019 di Kabupaten Gresik pada Juli 2019.

Penulis mengambil contoh calon legislatif (caleg). Banyak caleg incumbent di 2019 yang tumbang dan tergeser dengan caleg newcomer.

Padahal, secara modal popularitas maupun elektabilitas, caleg incumbent secara rasional lebih kuat. Sebab, mereka sudah lima tahun ngeramut konstituen melalui berbagi program yang digelontorkan, antara lain jaring aspirasi masyarakat (jasmas) yang nilainya sangat fantatis hingga Rp 2 miliar per tahun per anggota DPRD.

Nyatanya, para caleg incumbent itu juga banyak kalah. Mereka justru dikalahkan caleg newcomer yang tak masuk tataran survei.

Pertanyaannya, kenapa caleg incumbent itu bisa gagal? Apakah selama ini mereka cacat moral atau tersandung hukum di mata masyarakat? Jawabnya, tidak. Buktinya, elektabilitas dan popularitas mereka saat survei masih tinggi.

Simak berita selengkapnya ...

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video