​Sunan Gus Dur, Wali Sepuluh, dan Tokoh “Lepra Politik” | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

​Sunan Gus Dur, Wali Sepuluh, dan Tokoh “Lepra Politik”

Editor: MMA
Sabtu, 21 Desember 2019 12:45 WIB

M Mas'ud Adnan. Foto: bangsaonline.com

Maka mudah dipahami jika sangat teguh pendirian dan tampil sebagai pemimpin berkarakter. selalu bloko suto, ikhlas apa adanya, tak pernah punya rasa takut, bahkan tak pernah berpikir tentang pencitraan dirinya seperti elit politik sekarang. tak peduli, apakah langkahnya memperjuangkan prinsip itu mengancam posisi dan popularitasnya. Sebab pahlawan memang tak butuh aksesori sosial, seperti pujian, popularitas dan ornamen-ornamen soisal tak penting lainnya.

Karena itu, mudah dipahami jika tenang-tenang saja meski secara politik berhadapan dengan Presiden pada Orde Baru. Padahal, sebagai penguasa hegemonik, represif, dan otoriter, memiliki jaringan kekuasaan menyeramkan. Apalagi, mulai dari gubernur, bupati, wali kota, camat hingga kepala desa, semuanya tersentralisasi. Bahkan di ujung paling bawah, di tingkat desa, masih ada barisan militer yaitu Babinsa yang ikut menjaga “stabilitas” kekuasaan .

Saya masih ingat ketika diundang warga NU Lamongan Jawa Timur. Saat itu media massa heboh karena Bupati Lamongan M Farid mencekal . Tokoh HMI itu melarang ceramah di area kekuasaannya di Lamongan. Sejak itu identik dengan “tokoh terlarang” dan “tokoh teraniaya”.

Ironisnya, dan kroninya tidak hanya mencekal , tapi juga melakukan penetrasi politik kepada para kiai NU dan gus yang – maaf – “tipis iman”. Para kroni menggelontor dana politik miliaran rupiah dengan dalih “proyek umat”. Saya masih ingat bagaimana mereka secara ramai-ramai mendirikan yayasan dengan berbagai labeling keumatan.

Meski jumlahnya kecil, tapi para kiai dan gus “tipis iman” ini sangat mengganggu gerakan NU di bawah kepemimpinan . Apalagi mereka selalu memprovokasi bahwa sudah tak direstui pemerintah, terutama Presiden . Saat itu kekuasaan memang sedang berada pada puncak kejayaannya.

Ya, saat itulah mengeluh karena banyak kiai yang akhirnya takut berhubungan dengan ketua umum PBNU tiga periode itu. “Saya jadi lepra politik,” kata . Namun berbeda dengan para kiai “tipis iman” yang terus mendekati karena menganggap penguasa digdaya, justru punya keyakinan sebaliknya. “Pohon sudah mau tumbang kok masih didekati,” kata .

Persekusi politik terhadap Gus Dur pun terus berlangsung. Bahkan pada Muktamar NU di Cipasung, dilarang berjabat tangan dengan Presiden yang hadir membuka Muktamar NU. Saat itu seorang jenderal dikabarkan menginstruksikan kepada protokol kepresidenan agar tak diberi tempat (kursi) di jajaran tamu negara. Padahal adalah ketua umum PBNU yang notabene sahibul hajah Muktamar NU. Ini tentu penistaan luar biasa.

Namun tak kehabisan akal. Saat Presiden mau pulang, para kiai dan pengurus NU berdiri berjejer untuk bersalaman satu per satu. menyelinap dan mengambil posisi terakhir di antara tokoh NU yang akan disalami . Akhirnya tak bisa menghindar sehingga – mau tak mau – berjabat tangan dengan .

beserta kroninya memang berusaha menjegal agar tak terpilih lagi sebagai ketua umum PBNU. menjagokan Abu Hasan sebagai calon ketua umum PBNU. Namun, meski dan kroninya memblokade agar tak terpilih sebagai ketua umum PBNU, tapi rekayasa mereka gagal total. Warga NU tetap memilih sebagai ketua umum PBNU. 

Bahkan sejarah kemudian membuktikan bahwa jadi Presiden RI ke-4. Yang unik, saat masih berkhidmat sebagai ketua umum PBNU, berkali-kali menyatakan bahwa pada saatnya nanti ia akan jadi presiden RI. Tentu saat itu banyak yang tak percaya. Bahkan ada yang mencap ngawur. Faktanya benar-benar jadi presiden. Semoga Allah SWT terus mengasihi yang lebih suka disebut sebagai tokoh kemanusiaan. Wallahua’lam bisshawab.

*Penulis adalah praktisi media, alumnus Pesantren , Stikosa-AWS dan Pascasarjana Unair 

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video