​Sunan Gus Dur, Wali Sepuluh, dan Tokoh “Lepra Politik” | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

​Sunan Gus Dur, Wali Sepuluh, dan Tokoh “Lepra Politik”

Editor: MMA
Sabtu, 21 Desember 2019 12:45 WIB

M Mas'ud Adnan. Foto: bangsaonline.com

Oleh: M Mas’ud Adnan*

Hari ini, 21 Desember 2019, Pesantren Jombang Jawa Timur menggelar Haul ke-10 KH Abdurrahman Wahid (). Presiden RI ke-4 itu wafat 30 Desember 2009 pada usia 69 tahun. Ia dimakamkan di Maqbarah Masyayikh di Pesantren , dekat makam ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim (pahlawan nasional) dan kakeknya, KHM Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan Pesantren yang juga pahlawan nasional.

Sembilan tahun lalu, pada 8 Februari 2010 saya menulis opini di Jawa Pos berjudul “ dan Siklus 100 Tahun”. Tiga bulan kemudian, pada 6 April 2010 saya menulis opini di HARIAN BANGSA berjudul: Sunan Wali ke-10. Inti tulisan saya itu menegaskan bahwa adalah mujaddid (pembaharu) besar yang diyakini sebagai waliyullah. Kesimpulan saya itu berdasarkan fakta, bahwa setelah wafat ternyata kharismanya tidak meredup, sebaliknya semakin harum di hati umat dan rakyat. Buktinya, makam dikunjungi jutaan pe dari berbagai penjuru nusantara dan bahkan dunia. 

beda sekali dengan para tokoh lain. Umumnya, para tokoh lain, begitu wafat, semuanya selesai dan tamat. sebaliknya, justru banyak memberikan berkah. Di sekitar Pesantren , sejak wafat, tumbuh warung, penjual aksesoris, buah-buahan, topi, busana muslim, jasa toilet, penginapan, sampai tukang parkir dan sebagainya. Ekonomi kelas bawah benar-benar menggeliat dapat berkah

Bahkan kotak amal yang dikelola Lembaga Sosial Pesantren (LSPT) tiap bulan mencapai Rp 300 juta. Namun Dr Ir KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah, adik ), pengasuh Pesantren dan para dzurriyah sepakat bahwa dana itu tak boleh dicampur dengan keuangan Pesantren . Dana dari para pe itu dikelola secara terpisah dan dimafaatkan secara khusus untuk kegiatan sosial seperti membantu anak yatim, para dhuafa, atau anak-anak sekolah tak mampu bayar SPP di luar Pesantren .

Benarkah waliyullah? Saat di makam , saya selalu mencermati doa-doa yang dilantunkan para pe. Ternyata semua kiai pemimpin rombongan saat tawashul membaca fatihah kepada selalu menyebut dengan suara keras: Ya Waliyallah KH Abdurrahman Wahid atau Ya Waliyallah . Ini berarti semua para pe berkeyakinan bahwa waliyullah!

Membeludaknya para pe makam memang tak hanya mencengangkan orang awam. Tapi juga para ulama besar. Saat menghadiri haul di , KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) membisiki KH A Mustofa Bisri (). Ia mengaku heran, kenapa setelah wafat justru derajatnya semakin tinggi, umat berduyun-duyun mengunjungi makam atau pusaranya.

“Tadi Mbah Moen membisiki saya, beliau heran, kenapa setelah wafat derajatnya semakin tinggi,” kata saat memberikan taushiyah pada haul saat itu.

lalu menjawab pertanyaan Mbah Moen. Menurut , derajat makin tinggi setelah wafat karena semasa hidupnya hati selalu mencintai rakyat dan memikirkan nasib rakyat atau umat. Karena itu, kata , ketika wafat, Allah menggerakkan hati rakyat untuk mencintai sehingga mereka berduyun-duyun meni makam .

Logika sangat masuk akal. Para pe itu umumnya datang berombongan naik bus. Biasanya, sebelum ke makam , mereka ke makam para Wali Songo (Wali Sembilan) seperti Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Gresik dan seterusnya. Baru terakhir menuju ke ke makam di Jombang. Karena itu saya menyebut Sunan sebagai Wali Sedoso atau Wali Sepuluh.

TOKOH TERANIAYA

Mungkin banyak yang belum tahu. Dari penelusuran saya, ternyata penganut fanatik Thomas Carly. Menurut Carly, dunia membutuhkan pahlawan yang memiliki “keberanian dan individualitas tersendiri”. Prinsip Carly itu tampaknya dipegang kuat oleh sejak muda jauh sebelum terpilih sebagai ketua umum PBNU dalam Muktamar NU ke-27 pada 1984.

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video