Sumamburat: Pilkada Tanpa Banjir | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sumamburat: Pilkada Tanpa Banjir

Wartawan: -
Rabu, 28 Februari 2018 12:45 WIB

Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

TAHUN politik ini seperti sedang mempertontonkan “tubuh publik yang sakit”. Parade orang gila yang mampu membentuk formasi persekusi kiai dipamer tanpa ragu. Episode tragedI “ninja Banyuwangi 1998” sepertinya hendak disulam menjadi “warna” penanda adanya perebutan kekuasaan. Atau itu menjadi titik jedah agar semua istirah betapa rezim ini dituntut sigap dalam menjaga ketertiban umum sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah adalah amanat konstitusi yang tidak boleh dikhianati. Belum lagi urusan orgil dientas dengan tuntas, muncul fenomena “sepak bola Piala Presiden” yang menegasikan Gubernur DKI Jakarta untuk selanjutnya“tradisi banjir”. Tradisi yang muncul di sepanjang aliran sungai, termasuk di Pasuruan berupa derita luapan bah yang bersinambung denganJombang.

Jalur Probolinggo-Pasuruan lumpuh 8jam. Begitu ragam berita yang tersaji di belantara media pekan lalu. Bojonegoro, Lamongan, Tuban maupun Gresik juga “menikmatinya”. Pilkada menjadi mengingatkan kembali tentang banjir yang menjadi “festival tahunan” di Pasuruan. Kondisi ini nyaris setarikan nafas dengan fenomena banjir di Jakarta sebagai akibat terjauh dari gundulnya hutan di kawasan Puncak, Bogor. Memang banjir, kemacetan, dan ketimpangan distribusi pendapatan serta mencuatnya disparitas pembangunan yang menghasilkan kantong kemiskinan baru, mustilah dicarikan solusi. Bahkan dalam berbagai riset internasional terinformasikan bahwa pencemaran udara di Jakarta berebut posisi untuk menjadi “juara umum” dengan Bombay, New Delhi, maupun Mexico City. Jakarta dalam dasawarsa terakhir ini berkutat sebagai salah satu dari delapan megacities yangkualitas udaranya turut menentukan kelabunya langit cekungan pasifik (Pacific Rim).

Semarak pilkada sejatinya semakin menyembulkan gelisa secara ekologis dikala kita disuguhi bencana banjir di banyak daerah. Banjir bukanlah sebab dari permasalahan perkotaan, melainkan akibat saja dari penyalahgunaan ruangyang terhampar. Semua itu pelajaran bagi pemimpin agar peduli pada lingkungan. Siapa mengabaikan lingkungan dia akan memanennya. Secara filsafati (natural philosophy), bencana banjir itu tidaklah ada dan muncul tiba-tiba, karena alam tidak mungkin membuat bencana. Alam hanya menyesuaikan dirinya atas laku manusia yang lalim, terutama kelaliman yang menggunakan kebijakan yang tidak environmental friendly. Bukankah dalam kita suci keagamaan (Islam) sudah dititahkan bahwa kerusakan di darat dan di laut itu akibat ulah manusia (Alquran, Ar-Rum ayat 41-42). Pemimpin pun dihadirkan dengan dipilih oleh rakyat tanpa merusak lingkungan atau menyalahgunakan ruang dengan rembuk kelembagaan negara yang menghasilkan kebijakan berupa regulasi nasional dan daerah (dalam permusyawaratan/perwakilan) seperti yang diajarkan dasar negara Pancasila.

Seluruh pengamal Pancasila mengerti bahwa hujan itu nikmat dan anugrah, bukan laknat dan prahara. Kenapa di musim penghujan, banjir hadir dengan menyuguhkan duka, merusak infrastruktur transportasi, dan gagalnya panen petani, sehingga menimbulkan sesal yang mengurangi rasa syukur atas karunia iklim tropis yang dibentangkan Tuhan. Problematika jalan berlubang sambung menyambung menjadi satu jalinan yang mengganggu kepentingan umum. Lantas apa yang dilakukan oleh pemegang otoritas negeri ini?

Simak berita selengkapnya ...

1 2

 

 Tag:   Opini

Berita Terkait

Bangsaonline Video