Mualaf Cilik, Papa-Mama... Rio Tunggu di Pintu Surga | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Mualaf Cilik, Papa-Mama... Rio Tunggu di Pintu Surga

Sabtu, 13 Agustus 2016 12:28 WIB

Papa yang sayangi anaknya.

Agnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”

Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekadar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.

Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.

Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.

Karena ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang ‘disulap’ menjadi tempat ibadah (Gereja,red).

Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika, kegelisahan mengguncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.

Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.

Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu.

Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja. Martono heran.

Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benak. Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa. Pah hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya.”

Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama. Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”

“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono. “Nggak, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.

Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar bisikan yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah seorang Muslim.

Tak lama setelah itu bisikan kedua terdengar, bahwa setelah Adzan maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup Adzan maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhir.

Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.” Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.

Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.

Suara Gaib, Menghajikan Pembantu, dan Bertemu Rio di Mekkah

Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.”

Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah. Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?” “Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.

Simak berita selengkapnya ...

1 2

Sumber: jurnalhajiumroh

 

sumber : jurnalhajiumroh

 Tag:   mualaf

Berita Terkait

Bangsaonline Video