Meninjau Ulang Kebijakan Pertambangan di Jawa Timur
Editor: Redaksi
Jumat, 23 September 2022 22:15 WIB
Oleh: Abdul Kodir
Peristiwa pembunuhan Salim Kancil yang terjadi beberapa tahun silam bisa menjadikan potret mengenai buruknya tata kelola pertambangan di Jawa Timur (Jatim). Kejadian itu akan menjadi salah satu pengingat bagaimana sektor tambang memiliki satu kuasa yang kuat, hingga menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
BACA JUGA:
Roushon Fikr Fair 2024 Hadirkan Bermacam Lomba Ajang Prestasi SD/MI se-Jatim
Polres Blitar Kota dapat Backup 60 Personel dari Polda Jatim untuk Amankan Pemilu 2024
Raih Predikat Provinsi Terbaik Penyelenggaraan Pemda, Gubernur Khofifah Apresiasi Seluruh ASN Jatim
Lapas 2B Ngawi Komitmen Bangun Zona Integritas 2024
Penulis pun meyakini bahwa peristiwa ini merupakan satu fenomena gunung es dari kompleksitas persoalan tambang di Jatim.
Pada awal 2022, Dirjen Minerba Kementrian ESDM mengeluarkan surat penghentian 1.036 perusahaan tambang karena belum menyerahkan rencana kegiatan dan anggaran biaya (RKAB) 2022. Dari total yang ada, sebanyak 185 perusahaan terdaftar di Jatim dengan beragam komoditas tambang.
Dari data tersebut, memang sepenuhnya belum bisa dijadikan sebagai alat justifikasi tentang tata kelola pertambangan di Jatim secara menyeluruh. Karena mungkin akan dianggap masalah administrasi, namun bisa menjadikan gambaran bahwa Pemprov Jatim belum cukup serius mengurus tata kelola sektor tambang.
Melanggar Peruntukan Kawasan
Perlu diperhatikan, bahwa izin usaha produksi (IUP) dari perusahaan tambang di Jatim sebagian besar berdiri di luar peruntukan lahannya. Kawasan-kawasan itu awalnya sebagai wilayah lindung atau yang memiliki fungsi penyangga ekologis untuk masyarakat, tapi karena kepentingan ekonomi-politik dari proyek pertambang cukup besar, sehingga seringkali merubah peruntukan kawasan tersebut.
Kita bisa mengambil pelajaran penting, dari beberapa kasus penolakan warga terhadap proyek pertambangan di beberapa tempat seperti di Banyuwangi dan Trenggalek. Gerakan tolak tambang emas di wilayah pegunungan Tumpang Pitu dan Salakan juga dikarenakan wilayah itu bukan pertambangan, namun sebagai wilayah kawasan hutan lindung.
Pada 2014, Zulkifli Hasan yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehutanan menurunkan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi mencapai 1.942 hektare, serta memperuntukkan kawasan tersebut dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kepada PT BSI dan PT DSI yang merupakan anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold (Tbk).
Simak berita selengkapnya ...