Tafsir Al-Kahfi 79-81: Guru Menjelaskan Jawaban Soal Setelah Ujian | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Kahfi 79-81: Guru Menjelaskan Jawaban Soal Setelah Ujian

Editor: Redaksi
Rabu, 04 Mei 2022 08:05 WIB

Ilustrasi. (foto: Pixabay)

Hal yang sama. Lebih baik menggilas satu pengendara sepeda motor yang tiba-tiba nyelonong atau memotong jalan dari pada menghindari tapi diri dan semua penumpang mobil hancur. Tentu, yang terbaik adalah keselamatan semua. Semoga Allah selalu melindungi kita.

Dalam pengadilan syari’ah islam, memang yang dihukum adalah pelaku, orang yang nyata-nyata menabrak (al-mubasyir). Tetapi ada alasan pembenar terhadap tindakan tersebut, sehingga terdapat syubhat dalam proses pengadilan. Alasan pembenar inilah selanjutnya meringankan terdakwa, setidaknya tidak dianggap sebagai pembunuhan sengaja yang berkonsekuensi qisas.

Pengadilan wajib mengadili sipir bus yang ugal-ugalan tadi sebagai penyebab mutlak (al-sabab) dengan menghadirkan bukti-bukti, seperti saksi hidup atau rekaman CCTV dan selanjutnya dia bisa dijatuhi hukuman kebijakan, denda, atau kurungan. Tapi tidak bisa dihukum mati karena bukan pelaku akhir atau eksekutor.

Tapi tidak begitu hukum lalu lintas kita. Bahwa yang salah hanya si penabrak tukang bakso saja, karena itu kenyataannya di TKP, tanpa memperkarakan sopir bus ugal-ugalan dan penyebab nyata, bahkan sengaja membahayakan nyawa orang banyak. Di sini, kearifan hakim sangat diperlukan, demi keadilan. Mudah-mudahan ada pemegang kebijakan yang mengerti.

Bisa dibayangkan, andai perahu tidak dirusak, lalu dirampas pembajak, maka betapa sengsaranya bagi para kongsi miskin, di mana harta satu-satunya yang merupakan sumber rezeki lenyap. Mereka menderita dan tidak bisa menghidupi anak dan keluarga seperti biasanya.

Pembolehan mengorbankan barang sedikit demi menyelamatkan sesuatu yang lebih besar ini sifatnya umum, bahkan hingga harta anak yatim-pun boleh diberlakukan demikian. Misalnya, mengambil sebagian aset anak yatim kemudian diberikan kepada preman jahat demi keamanan aset.

PERBEDAAN FAQIR DAN MISKIN

Ada delapan kelompok yang berhak menerima santunan atau zakat dan yang terdepan adalah orang Faqir (al-fuqara’), kemudian orang Miskin (al-masakin) seperti ditera pada al-Taubah:60. Yang dimaksud adalah mereka yang kekurangan materi, harta, atau penghasilan dan bukan kurang ibadah atau keimanan.

Beberapa ulama menyamakan antara keduanya dan beberapa membedakan. Al-imam al-Syafi’ie termasuk yang membedakan antara si Faqir dan si Miskin. Bahwa faqir lebih parah daripada miskin. Al-Ghazaly menggunakan rumusan model perimbangan budget, yaitu perbandingan antara debet (dakhl) dan kredit (kharj). “Man kan dakhluh aqall min kharjih”. Ketika penghasilan lebih sedikit ketimbang kebutuhan atau pengeluaran.

Kurang-kurang sedikit itulah Miskin, di mana seseorang masih bisa hidup tenang meski tidak nyaman. Miskin, artinya diam, tenang, dan tidak gelisah. Semakin kurang, semakin tidak mencukupi, maka semakin jatuh ke level Faqir, orang yang sangat butuh. Abu al-Qasim al-Ghazy mencontohkan, orang yang butuh biaya hidup sepuluh, tapi penghasilannya cuma sembilan, delapan atau tujuh dan seterusnya.

“.. amma al-safinah fakanat li masakin ya’malun fi al-bahr”. Satu perahu itu milik beberapa orang miskin untuk dipakai kerja di transportasi laut. Artinya, orang miskin itu masih punya harta, meski sedikit. Itulah kongsi pemilikan perahu. Juga punya pekerjaan tetap, yaitu kerja di laut, meski hasilnya tidak banyak. Ya, karena dibagi bersama.

Tidak sama dengan keadaan orang Faqir yang memang totalitas melaratnya dan tidak punya apa-apa. Tidak punya harta sebagai aset dan tidak juga punya pekerjaan yang menghasilkan. Begitu al-Baqarah: 273. “Li al-fuqara al-ladzin uhshiru fi sabilillah la yastathi’un dlarba fi al-ardl”. Orang faqir itu tak punya apa-apa dan tak bisa kerja apa-apa.

Artinya, sifat orang kaya itu (al-ghaniy), ada kalanya dia punya harta, aset cukup (ghani bi al-mal), meski tak punya pekerjaan cukup dan ada kalanya hanya punya pekerjaan yang cukup untuk hidup sehari-hari, tapi tak punya aset (ghaniy bi al-kasb). Yang umum, ya punya keduanya. Al-Ghaniy tidak boleh menerima zakat.

Kedua, Anak Yang Dibunuh

Wa amma al-ghulam fa kan abawah mukminain fa khasyina an yurhiqahuma thughyana wa kufra”. Dia anak yang bakal tumbuh durhaka dan menyesatkan kedua orang tuanya yang mukmin shalih. Makanya, sejak dini dibunuh saja dari pada sekeluarga nanti kafir dan durhaka semua.

Musa A.S. sama sekali tidak mengerti keadaan di depan macam ini, makanya protes keras. Tetapi tidak hanya terhenti di pembunuhan itu saja, Khidir memang benar-benar mengerti iradah Allah SWT selanjutnya, yaitu mengganti anak tersebut dengan anak yang shalih dan membahagiakan kedua orang tuanya kelak. Hal itu karena kesabaran mereka ditinggal mati anak kesayangannya.

Jika yang dimaksud Ghulam itu anak yang sudah dewasa, maka kebrutalan anak tersebut sudah kelewat batas sehingga kedua orang tuanya sendiri tidak mampu menasihati dan mencegahnya, bahkan selalu lolos dari jerat hukum yang berlaku waktu itu.

Dan Khidir datang untuk menghentikan kebrutalan tersebut, maka pantas orang tuanya ikhlas, di samping yakin bakal diganti dengan anak yang shalih. “fa aradna an yubdilahuma rabbuhuma khaira minh zakah wa aqarab ruhma”.

Sifat anak pengganti itu adalah “khair” (lebih bagus ketimbang yang dibunuh) yang rinciaannya adalah: “Zakah”, hatinya bersih, lembut, dan pemaaf. “Ruhma”, penuh hormat dan kasih sayang, santun, dan sosial. Hal mana tidak dimiliki oleh si Haisur, nama anak yang dibunuh Khadlir A.S.

Dari kata “ruhma” yang senada dengan kata “Rahim” timbul berbagai tafsir. Bahwa pada saat pembunuhan itu, si ibu sedang mengandung dan bayi itulah yang digadang-gadang sebagai anak shalih. Sebagai orang tua tentu bersedih anaknya dibunuh, tapi sekaligus gembira dengan kelahiran anak berikutnya. Dan keikhlasan mereka lebih tinggi.

Ibn Juraij mengatakan bahwa bayi itu perempuan yang cantik dan sangat shalihah, lalu dinikahi oleh seorang nabi dari kalangan bani Israel dan melahirkan keturunan yang bagus-bagus, ulama’ besar dan juru dakwah yang mukhlish. Al-Imam al-Kalby pro pada pandangan ini. Inilah pelajaran bersabar, pasrah yang membuahkan hal terbaik.

Ketiga, Pagar Direnovasi

Musa sudah dua kali gagal dan memasuki tes ketiga, yaitu jalan-jalan jauh dan melelahkan. Karena kelaparan-kehausan, Khidir A.S. bertamu ke rumah besar dan meminta suguhan, tapi ditolak. Segera dia keluar dan melihat pagar rumah itu rusak dan mau roboh, lalu diperbaiki. Usai perbaikan, Musa nyeletuk: “pantas kiranya tuan guru meminta upah barang sedikit..”. Ya sudah, Musa gagal untuk ketiga kalinya dan ini penjelasannya.

Bahwa tepat di bawah pagar yang rusak tersebut sesungguhnya ada “kanz”, sebut saja kotak berisikan emas yang sengaja ditanam di luar rumah untuk mengelabuhi penjahat dan di atasnya dibangun pagar sebagai tanda.

Pemiliknya adalah keluarga yang shalih, kaya, dan punya dua anak. Karena keadaan, maka dia sengaja menyimpannya di perut bumi dengan rasa pasrah kepada Allah SWT saja. Harapannya kelak, emas itu bisa dijadikan modal anak-anaknya dalam menuntut ilmu dan kebajikan. Allah sendiri yang mengatur dan benar, kedua ayah dan ibu itu meninggal dan kedua anaknya menjadi yatim.

Jadi, bisa dibayangkan jika pagar itu roboh, maka peti berisikan emas dan barang berharga itu akan nampak sehingga berpotensi lenyap, lalu gagallah cita-cita keluarga shalih tersebut. Khadlir mengerti itu, makanya dia merasa berkewajiban melindungi dengan caranya sendiri. Dijelaskan demikian, Musa hanya diam dan merasa tidak apa-apanya di hadapan maha guru Khadlir A.S.

Meski tiga kali diuji dan tidak lulus, tidak berarti Musa A.S. gagal total dalam menempuh karier akademik. Musa tetap menjadi nabi utusan Allah yang hebat dan perkasa. Terhadap kisah Musa dan Khidir di atas, beberapa bisa dipetik sebagai hikmah, antara lain:

Pertama, bahwa ilmu Allah itu sangat banyak, bervariasi, dan tidak terbatas. Seseorang tidak akan pernah bisa menguasai semua. Hanya disiplin tertentu saja yang dibisai manusia. Khidir A.S. sangat piawai dalam bidang kema’rifatan, tapi kurang di bidang kerja bimbingan publik. Sebaliknya Musa yang aktivis dan hebat dalam membimbing umat, tapi kurang di bidang kemakrifatan.

Memang manusia cuma punya satu “qalbu” (jantung-hati). “ma ja’al Allah li rajul min qalbai fi jawfih”. (al-Ahzab:4). Artinya, hanya bidang tertentu saja yang bisa dikuasai manusia. Makanya, orang bijak memberi panduan akademik dan berkata: “Lebih baik tahu banyak dalam sedikit hal, daripada tahu sedikit dalam banyak hal”. Itulah yang sekarang disebut sebagai “spesifikasi”.

Kedua, jangan cepat-cepat mengambil keputusan berdasar yang terlihat, yang terlintas dalam akal kita. Bisa jadi hal besar tidak terdeteksi oleh akal, tapi nyata adanya di depan nanti. Makanya, wong Jowo berkata: “ojo grusah-grusuh”. Di balik kulit durian yang lancip dan membahayakan, tersimpan buah amat lezat yang mengagumkan. Akal bukanlah satu-satunya rujukan, melainkan salah satunya.

Ketiga, kisah tersebut sungguh membuktikan tingginya derajat “karamah” yang dimiliki seorang Khidir A.S. Maka, karamah itu nyata adanya dengan dalil ayat kaji di atas. Siapa mengingkari adanya karamah, berarti mengingkari sebagian ayat al-qur’an, berarti kufur, pada sebagian isinya.

Tidak sama dengan tidak percaya terhadap orangnya, personalnya. Misalnya, “saya tidak percaya bahwa si Fulan punya karamah begini dan begini”. Itu sebuah pilihan dan tidak merusak iman.

Dari paparan ayat di atas, apakah karamah itu boleh ditampakkan, dipamerkan? Mayoritas ulama mengatakan tidak boleh, karena itu merupakan anugerah dan rahasia. Tetapi ada kekecualian, seperti situasi darurat dan emergensi. Atau demi pengajaran dan menghindari salah paham dan itu seperlunya saja, terbatas, dan tertutup.

“Terpaksa” Khidir A.S. menampilkan karamahnya yang bisa melihat kejadian di masa depan dengan membuka rahasia-rahasia yang dia ketahui. Ya, agar Musa tidak salah paham menuduh Khidir sebagai nabi biadab dan melanggar syariah. Ternyata di atas syariah yang terlihat ada syariah yang tak terlihat.

Dan penjelasan Khidir hanya sebatas yang diperlukan dan tidak lebih. Hanya di hadapan muridnya sendiri, Musa A.S. dan tidak dipublis. Begitu pula kemukjizatan yang ditampilkan oleh Rasulullah SAW sebagai penguat dakwah, meski tidak selalu diterima. Malah dituduh tukang sihir dan lain-lain.

Keempat, perjalanan Khidir bagian akhir itu sebagai dalil bahwa seseorang boleh meminta makanan secukupnya saat kelaparan. Itulah ikhtiar yang diwajibkan. Perkara dikabulkan atau ditolak itu urusan lain. Tidak benar hanya pasrah dan menunggu takdir “durian jatuh” saat kelaparan membahayakan. Bahkan Tuhan membolehkan makan bangkai jika terpaksa, secukupnya dan tidak berlebihan.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video