Imlek, Binatang Fantasi, Gus Dur Shio Naga, Mega Shio Babi, Jokowi? | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Imlek, Binatang Fantasi, Gus Dur Shio Naga, Mega Shio Babi, Jokowi?

Editor: MMA
Selasa, 01 Februari 2022 08:20 WIB

Dahlan Iskan. Foto: ist

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Dalam budaya , 11 binatang dianggap mewakili seluruh watak manusia. Lalu ditambah lagi binatang fantasi: naga. Jadilah 12 binatang. Tapi kenapa orang ingin ber?

Simak tulisan wartawan kawakan, Dahlan Iskan, di BANGSAONLINE.com pagi ini, Selasa 1 Februari 2022. Selamat membaca:

TERNYATA perlu 11 jenis binatang untuk bisa mewakili seluruh watak manusia. Itu pun belum cukup. Perlu diciptakan binatang ke-12. Agar seluruh sifat manusia bisa dilihat di binatang.

Binatang ke-12 itu sebenarnya bukan binatang: naga. Ia seperti ular tapi besar sekali. Bisa terbang pula. Padahal tidak bersayap. Sakti. Perkasa. Dari mulutnya bisa menyemburkan api.

Ia binatang fantasi.

Setelah diciptakannya naga itu, genaplah 12 shio dalam susunan keberuntungan hidup di budaya : tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, babi.

Tahun ini disebut tahun macan. Terhitung sejak tadi malam. Tahun depan tahun kelinci. Depannya lagi tahun naga. Orang banyak yang merencanakan agar anak mereka lahir di tahun naga: berarti baru akhir tahun depan para suami harus lebih giat menaburkan benih ke rahim istri.

Sebenarnya naga bukan monopoli dunia Timur. Di Barat juga dikenal binatang fantasi itu. Hanya saja naga di Barat digambarkan bersayap.

Di Indonesia, dimiliki oleh Presiden . Tiga presiden lainnya sama: , SBY, dan Jokowi, sama-sama bershio kerbau. Presiden Megawati ber. Sedang B.J. Habibie ber.

Sudah dua tahun ini tahun baru dalam suasana duka: pandemi Covid-19. Tapi tetap saja orang harus mengatakan 新年快乐 (xin nian kuai le): berbahagialah di tahun baru. Atau 恭喜发财 (): selamat menuju kemakmuran.

Berbeda dengan tahun baru Masehi, di malam tahun baru tidak ada perayaan. Semua keluarga harus kumpul di rumah: makan-makan. Sebelum makan-makan sebaiknya sembahyang ke para leluhur. Menu wajib makan tadi malam: babi kecap, ikan, tahu, dan mie.

Lalu, pagi ini, kegiatan utama orang : bagi-bagi hong bao (ang pao). Yakni amplop merah. Bukan amplopnya yang penting, tapi isinya: uang.

Orang yang lebih tua memberi hong bao pada anak-anak atau keponakan-keponakan. Kakek-nenek memberi hongbao pada cucu-cucu.

Sehari ini yang lebih muda dan anak-anak berkunjung ke orang yang dituakan. Sambil berharap dapat ang pao.

Yang tidak boleh berharap dapat ang pao adalah: mereka yang sudah menikah.

Begitu banyak aturan di sekitar tahun baru . Beda asal beda kebiasaan. Yang leluhurnya beda dengan yang . Yang Tiuchu beda dengan yang Hakka.

Hari ini, misalnya, umumnya tidak boleh bersih-bersih. Tidak boleh menyapu. Tidak boleh ganti sprei. Kalau terpaksa menyapu arah sapunya harus ke dalam. Agar rejeki tidak keluar.

Tadi malam, umumnya tidak tidur sampai jam 00.00. Di tengah malam itu mereka harus sembahyang di rumah masing-masing.

Saya sendiri tadi malam melewatkan malam tahun baru di atas kapal feri: menyeberangi selat Sunda. Dari Merak ke Bakauheni.

Di atas feri saya mengingat-ingat apa saja yang berubah di kalangan masyarakat di Indonesia.

Sudah dua-tiga tahun ini saya tidak lagi mendengar ada orang yang berkata: "wo men zai guo nei..." dengan pengertian bahwa yang disebut ''guo nei'' adalah Tiongkok. Kesadaran bahwa ''guo nei'' kita itu, ya, Indonesia.

Kebiasaan salah itu mungkin bermula dari guru bahasa Mandarin mereka di masa silam: guru itu dari Tiongkok. Sehingga wajar ketika guru itu mengatakan ''guo nei'', yang dimaksud Tiongkok.

Memang saya masih berharap sebutan ''wo men zhong guo ren'' mulai bergeser ke ''wo men in ni hua ren''. Tapi yang ini mungkin perlu waktu lebih lama: kata zhong guo tidak hanya identik dengan negara Tiongkok. Kata ''zhong guo'' juga sudah identik dengan ''zhong hua''.

Kemajuan nyata terlihat di Universitas Ciputra Surabaya. Seorang dosen komunikasi di situ, Dr Maksum, orang Madura, bercerita pada saya bahwa di kelasnya hampir sama antara mahasiswa dan pribumi. Ia juga melihat tidak ada sekat di antara mereka.

Maksum melihat anak-anak pengusaha Muslim ingin anak mereka jadi pengusaha besar, seperti konglomerat Ciputra. Lalu menyekolahkan anak ke sana.

Sebaliknya, kata Maksum, alumnus Unair, banyak mahasiswa yang mulai masuk prodi ekonomi syariah di Universitas Airlangga.

Sekat-sekat memang masih terlihat: di perumahan, di sekolah, di ekonomi. Tapi tetap saja hari ini kita ucapkan: xin nian kuai le, . (Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Komentar Pilihan Dahlan Iskan

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video