Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
69. Qaala satajidunii in syaa-a allaahu shaabiran walaa a’shii laka amraan
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Dia (Musa) berkata, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.”
70. Qaala fa-ini ittaba’tanii falaa tas-alnii ‘an syay-in hattaa uhditsa laka minhu dzikraan
Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu.”
TAFSIR AKTUAL
Musa A.S. memohon agar Khidir A.S. berkenan mengajarinya “rusyda”, tapi Khidir tidak berkenan karena menurut ilmu penerawangannya, si Musa tidak bakal mampu. Musa ngotot dan berusaha meyakinkan sang guru, bahwa dirinya pasti bisa, in sya’ Allah dan tidak akan melanggar. “satajiduni in sya’ Allah shabira wa la a’shi lak amra”. Dan akhirnya sang guru pasrah.
Ya sudah. Tapi ada satu syarat yang harus dipatuhi oleh Musa dan ini sekaligus materi tes masuk yang menentukan, apakah Musa diterima atau ditolak. Ternyata bukan tes keilmuan, melainkan tes kesabaran. “fa la tas’alni ‘an syai hatta uhditsa lak minh dzikra”. Jangan bertanya, sebelum dijelaskan. Hanya dites agar diam saja. Apapun yang kamu lihat, apapun yang terjadi, pokoknya jangan ngomong apa-apa.