​Bandar, Bandit, dan Badut dalam Panggung Politik Indonesia

​Bandar, Bandit, dan Badut dalam Panggung Politik Indonesia Dhiman Abror Djuraed. Foto: dok rmol

Oleh: Dhiman Abror Djuraed ---

Sukanto Tanoto raja sawit Indonesia termasuk golongan manusia crazy super rich Indonesia. Kekayaannya total berjumlah Rp 20 triliun dan menempatkannya dalam daftar 25 besar bos paling tajir Indonesia. Ia membeli istana Muenchen seharga Rp 6 triliun.

Harta Sukanto Tanoto sama dengan tiga kali lipat APBD Surabaya dan 20 kali lipat rata-rata APBD provinsi-provinsi di Indonesia. Kekayaannya bisa dipakai untuk membiayai operasional sebuah provinsi sampai 20 tahun atau sampai 50 tahun, termasuk menggaji bupati, anggota DPRD, dan seluruh pegawai di kabupaten itu.

Artinya, tanpa menarik sepeser pajak dari rakyat pun, sebuah provinsi bisa dibandari oleh para crazy super rich tersebut.

Kalau saja sebuah provinsi boleh dilelang dan dibiayai swasta seperti yang terjadi sekarang ini terhadap jalan tol, bandara, pelabuhan dan banyak fasilitas umum lainnya, seluruh provinsi di luar Jawa bisa dibeli satu orang saja. Selain membayari anggota DPRD dan pegawai negeri seluruh provinsi, uang swasta itu cukup untuk membayari biaya operasional sekolah sampai unversitas dan menggaji dosen dan guru dengan layak sehingga tidak bakal ada guru honorer yang dibayar Rp 700 ribu, lalu dengan seenaknya dipecat hanya gegara mem-posting gajinya di medsos.

Potensi kekayaan alam dan perputaran ekonomi di sebuah provinsi sangatlah besar sehingga dengan cepat para bandar investor itu akan mencapai break even point dan meraih untung untuk mengembalikan investasi.

Tentu saja, negara tidak dikelola para bandar dengan cara-cara seperti mengelola perusahaan pribadi. Namun, campur tangan bandar dalam pengelolaan negara seperti itu menjadi fenomena yang umum di Indonesia, sebagaimana ditengarai Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam buku Democrary for Sale (2019).

Para bandar memainkan peran sangat penting dalam politik Indonesia sejak 20 tahun terakhir dalam bentuk politik transaksional. Mereka membiayai para politikus yang hendak mencalonkan diri untuk posisi legislatif maupun eksekutif. Sebagai imbalannya, para bandar akan mendapatkan jatah proyek dari APBD. Demokrasi dijual dan APBD dilelang dan di-ijon.

Klientelisme semacam itu menjadi praktik yang umum karena biaya politik pada sistem pemilihan umum di Indonesia yang liberal ini sangat mahal. Praktik money politics, bagi-bagi uang dan vote buying (jual beli suara) menjadi hal yang sudah dianggap biasa. Aspinall dan Berenschot yang melakukan penelitian di Indonesia, India, dan Argentina, menemukan bahwa praktik politik paling banyak ditemukan di Indonesia, dan biaya politik di Indonesia paling tinggi di antara negara-negara itu. Aspinall dan Berenschot menyimpulkan bahwa praktik politik transaksional Indonesia adalah yang tertinggi di dunia.

Para peneliti itu menemukan istilah-istilah politik baru yang hanya ditemui di Indonesia yang sangat khas dan tidak terdapat padanannya dalam bahasa Inggris.

Tim sukses adalah terminologi yang dikenal hampir semua orang Indonesia, tapi tidak dikenal di India dan Argentina maupun negara-negara lain. Ketika dialihbahasakan menjadi “success team”, maknanya tentu sangat berbeda karena arti denotatif yang tidak tergambar.

Demikian juga istilah “serangan fajar” yang sudah dipahami secara luas di Indonesia, menjadi lucu dan kehilangan makna ketika dialihbahasakan menjadi “dawn attack” atau “dawn raid”. Dunia politik harus berterimakasih pada Indonesia karena telah menyumbangkan kosakata baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Lihat juga video 'Sejumlah Pemuda di Pasuruan Dukung Muhaimin Maju Calon Presiden 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO