Tafsir Al-Nahl 17-19: "Tuhan" Sebagai Nama Orang, Tidak Haram

Tafsir Al-Nahl 17-19: "Tuhan" Sebagai Nama Orang, Tidak Haram Pria di Banyuwangi yang bernama "Tuhan" menunjukkan KTPnya. (foto: tempo)

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'i MAg. . .  

BANGSAONLINE.com - Kita sedang mengaji ayat tentang ketuhanan, di mana Allah SWT memberi kriteria mengenai sifat Tuhan, yaitu maha mencipta. Bahkan menyuruh kita berpikir, apakah Tuhan yang bisa mencipta itu sama dengan Tuhan-tuhanan yang tidak bisa mencipta (17)?. Tentu, selain Allah SWT tidak ada yang bisa, sehingga selain Allah, termasuk Yesus, Fir'aun, Adam, bahkan nabi Muhammad SAW juga tidak layak disebut Tuhan. Apalagi Si Raden, pria asal Sukabumi yang ngaku Tuhan.

Kini, masyarakat sedang dihebohkan seorang laki-laki bernama "Tuhan" asal Banyuwangi yang hingga kini belum mau mengganti nama, meski sudah dinasehati oleh ahli agama, termasuk MUI, bahwa nama itu dilarang oleh agama Islam. Alasan Cak Tuhan sangat sederhana, karena nama itu pemberian orang tua. Untuk kengeyelan Cak Tuhan ini, dikemukakan paparan sebagai berikut:

Pertama, jika Cak Tuhan beragama non islam, maka Tafsir Aktual tidak membahas. Sebab itu wilayah pemuka agama yang dianut. Tapi jika dia beragama islam, maka Tafsir Aktual membahasnya. Ringkasnya, Cak Tuhan wajib mematuhi syari'ah islam, termasuk aturan tentang nama.

Bahwa nama anak manusia tidak boleh (haram) menjiplak, meniru, menyamai nama Tuhan Allah SWT. Haram hukumnya seseorang bernama "Allah". Atau sifat asasi yang spesial bagi-Nya dan tidak dimiliki oleh makhluq, seperti al-Rahman, al-Khaliq. Jika mau mencontoh, maka dibubuhi nama pengantar yang menunjuk sifat kemakhluqan atau kehambaan. Seperti, Abdul Khaliq (hamba Dzat Mahapencipta), Abdur Rahman, Fadlur Rahman (anugerah Dzat yang mahapengasih).

Sedangkan sifat yang mendua, bisa sebagai sifat Tuhan dan juga sifat bagi manusia, seperti: "Halim, 'Alim, Aziz, Rahim boleh dipakai seutuhnya sebagai nama anak manusia, atau dibubuhi didepannya kata: Muhammad, Ahmad dll. Jadi, tidak semua nama yang terdaftar dalam al-Asma' al-Husna (nama-nama terbaik) bagi Allah SWT harus dibubuhi kata antaran di depannya.

Nama kecil sahabat Abu Bakr al-Shiddiq R.A. adalah Abd Syams (hamba Matahari, hamba Dewa Matahari). Setelah memeluk agama islam, oleh Rasulullah SAW diganti dengan Abdullah (hamba Allah). Penggantian ini adalah aturan agama agar diri Abdu Syams segera bersih dari semua elemen syirik dan kekafiran, menjadi pribadi muslim yang mukhlis sebagai hamba Allah sejati, Abdullah. Karena dia termasuk orang pertama yang memeluk islam, maka digelari "Abu Bakr". Karena serba membenarkan ajaran islam dan tulus menerimanya secara total, tanpa tanya, tanpa ragu, maka dijuluki "al-Shiddiq", sang pembenar.

Kedua, perlu diselidiki lebih dulu soal kata "Tuhan" yang menjadi landasan nama Cak Tuhan tersebut. Apakah itu berasal dari bahasa setempat, Osing atau ideom lain yang punya arti sendiri dan bukan bermakna Tuhan sesembahan seperti dalam bahasa Indonesia. Jika demikian, maka tidak ada masalah dan tidak haram.

Jika dikatakan, bahwa nama Cak Tuhan Banyuwangi itu tidak serta merta berkonotasikan Allah SWT, melainkan Tuhan secara umum (ilah), bisa Allah SWT dan bisa yang lain. Sebagai perbandingan adalah nama senada dengan itu, seperti: Dewa, Dewi, Sri, Gusti, dan lainnya. Apa juga dilarang?

Bahwa di dalam islam tidak dikenal istilah Dewa seperti yang tergambar pada Mahabharata, Krishna, Ramayana dll. Yang ada hanyalah Allah SWT sebagai Tuhan dan selain Allah sebagai makhluq, titik. Sekelas Nabi, sesakti apapun tetap manusia dan tidak disebut Tuhan atau al-ilah. Jadi, bila sudah disebut "al-ilah", maka konotasinya adalah Tuhan dan bukan lagi sebagai makhluq. Itulah, maka tidak beda antara Allah dengan al-ilah dalam internal teologi Islam.

Hal itu dikuatkan oleh tesis pada kaliamat tawhid yang diawali dengan penafian terhadap semua jenis Tuhan lebih dahulu (La ilah). Tidak boleh ada pengakuan sedikit pun terhadap Tuhan dalam bentuk apapun. Setelah benar-benar bersih dan steril, barulah diputuskan hanya tertuju kepada Tuhan sejatinya saja, yaitu Allah SWT (illa Allah).

Jadi, tidak ada masalah seseorang bernama Dewa, Dewi, Sri (dewi kesejahteraan, pertanian, lingkungan hidup) karena masih pada tataran makhluq, meski terkesan sok suci atau sok kuasa. Sedangkan nama "ilah" atau "Tuhan", Islam memandangnya sudah masuk pada level ketuhanan, Tuhan yang disembah, yang sejatinya hanya wilayah Allah SWT saja. Itulah, maka larangan atas penamaan anak manusia dengan "ilah" atau "Tuhan" sangat beralasan.

Kedua, sebagai seorang muslim, cak Tuhan wajib menempatkan agama sebagai yang tertinggi dan selanjutnya wajib tunduk kepada syari'at islam yang berlaku. Itulah muslim yang sesungguhnya. Jika tidak, maka Cak Tuhan masih setengah hati menerima Islam sebagai agama, Cak Tuhan perlu dikasihani dan diarahkan secara bijak agar tidak terus dibenci Allah SWT gara-gara nama.

Nama "Tuhan" atau nama yang menyaingi nama Allah SWT memang tidak sampai ke ranah musyrik secara otomatis, kecuali dia meyakini dirinya juga Tuhan. Untuk ini, nama apapun, jika mengaku Tuhan pasti durhaka dan dilarang, seperti Fir'aun dan beberapa orang yang mengaku jelmaan Tuhan, termasuk si Raden, pria asal Sukabumi seperti diberitakan kemarin.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO