Politik Dua Kaki Jokowi dan Skenario Dua Capres

Politik Dua Kaki Jokowi dan Skenario Dua Capres Presiden Joko Widodo sedang berbincang di tengah sawah dengan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Foto: istimewa

JAKARTA, BANGSAONLINE - Presiden Joko Widodo () terang-terangan mengatakan akan cawe-cawe politik dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024. Sontak reaksi memenuhi ruang publik. Para pengeritik menilai bahwa ia bukan saja tak punya fatsoen politik atau akhlak politik, tapi juga melanggar konstitusi karena mencampur adukkan posisinya sebagai kepala negara - yang seharusnya netral - dengan politisi yang penuh ambisi. Bahkan dianggap ugal-ugalan dalam politik.

Komitemen terhadap demokrasi memang lemah. Ini mudah dipahami, karena background pengusaha. Terutama pengusaha mebel.

Sudah menjadi rahasia umum, hampir semua pejabat berbackground pengusaha cenderung pragmatis. Tidak peka dan kurang peduli demokrasi. Kecuali pengusaha yang punya basis intelektual tinggi dan akses informasi yang baik.

Dulu Gus Dur pernah menyindir Jusuf Kalla. “Repot kalau saudagar jadi pejabat. Semua dihitung berdasarkan untung-rugi,” kata Gus Dur.

juga setali tiga uang. Bahkan bukan saja cenderung cuek terhadap demokrasi. Tapi juga tidak sensitif pada penegakan hukum. Bukti faktual, KPK melemah justeru terjadi pada era . Itu fakta tak bisa dibantah.

Sejak muda menekuni bisnis. Mebel. Bisnis yang sama sekali tak bersentuhan dengan dunia informasi. Apalagi intelektual.

bukan sosok aktivis yang terbiasa dengan perdebatan demokrasi. Juga bukan seorang intelektual atau pemikir yang kaya pemikiran dan aktif dalam perdebatan intelektual.

Bahkan dalam beberapa kesempatan sendiri mengaku bukan berasal dari tokoh nasional dan pemimpin partai.

Maka mudah dipahami jika selama dua periode menjadi presiden, terkesan tak peka terhadap demokrasi. Wacana demokrasi mati suri.

Untung sekarang era medsos. Sehingga berbagai pendapat dan kritik yang bertebaran lepas dengan sendirinya. Pemerintahan tak bisa membungkam kritik secara maksimal. Tak bisa meniru Orde Baru. Era Presiden Soeharto. Yang membredel pers secara kejam.

Memang, background sebagai pengusaha menimbulkan konsekuensi terhadap demokrasi. Pragmatisme politik dominan. Atmosfir politik pun tidak sehat. Sudah bukan rahasia umum bahwa transaksi politik terjadi di mana-mana. Terutama di parlemen. Produk UU yang krusial lolos mulus secara mencurigakan.

Konsekuensi lain adalah nyaris terabaikannya konstitusi. Contoh faktual adalah isu tiga periode. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi. Tapi berbagai cara ditempuh untuk mengegolkan “imbuh jabatan”. Termasuk upaya membongkar konstitusi.

Padahal siapapun yang berkuasa lama atau terlalu lama sangat berisiko. Postulat politiknya jelas. “Power tens to corrupt; absolute power corrupts absolutely,” kata Lord Acton (1834–1902). Artinya, kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.

Karena itu wajar jika mayoritas rakyat Indonesia menolak wacana presiden tiga periode, meski Luhut Binsar Panjaitan sempat mengaku punya big data yang mengklaim sebagaian besar rakyat Indonesia menginginkan tiga periode. Faktanya saat ditantang agar big data itu dibuka, ternyata Luhut tak merespon. dan kroni-kroninya pun menyerah.

Gagal imbuh masa jabatan, pun berusaha jadi king maker. Ia meng-endorse sebagai calon presiden.

Tragisnya, juga tak mulus mengusung Ganjar. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang semula bersikukuh menjagokan putrinya, Puan Maharani, sebagai capres, tiba-tiba mengumumkan Ganjar sebagai calon presiden. pun kelimpungan.

Meski demikian harus menahan marah. Sebab Mega adalah ketua umum PDIP, sementara hanyalah petugas partai.

Lihat juga video 'Presiden Jokowi Unboxing Sirkuit Mandalika, Ini Motor yang Dipakai':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO