Tanggapan terhadap Dialog Menkes dan Calon Dokter: Salah Kaprah tentang Dokter

Tanggapan terhadap Dialog Menkes dan Calon Dokter: Salah Kaprah tentang Dokter Dahlan Iskan

Oleh: dr Muh Shoifi Tulisan Disway berjudul: Omnibus Lagi (2 Desember 2022), mendapat tanggapan yang sangat luas. Pro dan kontra hampir seimbang. Salah satunya yang ditulis dr Shoifi ini.

---

VIRAL di sosial media tentang dialog langsung Menkes Budi Gunadi Sadikin dengan para calon . Meski tak lazim tapi toh sudah terjadi.

Mengapa tak lazim?

Pertama, para dokter calon spesialis ini sedang dalam posisi belajar di institusi pendidikan tempat mereka bernaung.

Ada guru dan para pengampu kebijakan yang sudah mengurusi hal-hal terkait pendidikan.

Jika ada yang tidak pas, kurang sreg atau nggak asyik, tinggal lapor sesuai dengan penjenjangan yang sudah ada. Mulai ke senior, ketua Program Studi (KPS) hingga ke penanggung jawab pendidikan di fakultas atau pun rumah sakit pendidikan.

Kedua, umumnya para dokter yang sedang belajar tidak bicara tentang ”kebijakan”. Tradisi ini sangat kuat bahkan di mana pun di dunia pendidikan dokter.

Para dokter yang sedang belajar akan sangat sibuk dengan program studinya, meski ruang komunikasi untuk hal lain tetap sangat terbuka.

Banyak yang didialogkan. Tentang insentif, darah biru, dan juga bagaimana proses pendidikan itu dijalankan.

Tentang darah biru; ini lontaran Pak Menkes terkait ”banyaknya” permintaan rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan spesialis yang datang padanya.

Meski agak aneh, karena saat dialog itu juga langsung dibantah, jangan-jangan yang datang ke Pak Menkes juga ”berdarah biru”. Tidak banyak orang di negeri ini yang punya akses langsung ke Menkes. Tapi bisa akan menarik jika Pak Menkes juga memberikan datanya.

Dunia pendidikan kedokteran termasuk sistem pendidikan yang sangat objektif. Untuk masuk, seleksinya sangat ketat. Darah biru atau darah merah akan menjalani proses seleksi yang sama. Terlebih saat menjalani proses pendidikan, kecakapan intelektual, skill/psikomotor dan attitude. Standar penilaiannya sangat ketat.

Mau darah apa pun prosesnya sama. Kecakapan ini bisa diukur dan diuji oleh banyak pihak. Penjenjangannya sangat ketat. Bagi yang tidak mampu pasti terhenti di tengah jalan.

Anggap saja ada dokter calon spesialis yang karena darahnya biru maka dia diterima. Tapi untuk menjalani proses pendidikan selama 5 tahun tidak pernah ada lagi yang akan paham dengan warna darahnya.

Kecakapan seorang dokter untuk menjadi ada standar ujinya, dan itu sangat ketat.

Lalu tentang biaya yang mahal dan hanya yang berduit saja yang bisa sekolah spesialis. Ini juga agak aneh.

Mungkin ada yang takut mendaftar sekolah karena belum punya cukup biaya. Misalnya, karena barusan berkeluarga dan lain-lain. Tapi mengatakan bahwa yang bisa sekolah spesialis hanya anak-anak yang mampu ini tidak benar. Apalagi dasarnya hanya 1 foto yang katanya dokter tidak berani sekolah karena tidak mampu.

Kalau dokter-dokter tidak mampu dan tidak bisa sekolah spesialis mau pamer foto, bisa jadi kolase yang sangat besar.

Bahkan seandainya dilakukan survei pun mayoritas yang sedang menjalani sekolah spesialis saat ini adalah dokter yang secara ekonomi biasa-biasa saja. Yang dari kampung dan kurang mampu secara ekonomi sangat banyak. Pasti jauh lebih banyak dari yang mampu atau pun berdarah biru.

Sekarang tentang produksi dan distribusi.

Pak Menkes bilang siap berdebat, ini hal baru dan bagus. Sekalian bisa dibuat debat terbuka: apa masalah kesehatan dan kedokteran di negeri ini sebenarnya?

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO