Tak Ada Perang Suporter

Tak Ada Perang Suporter Dahlan Iskan

Maka gemes itu memuncak menjelang pertandingan selesai. Lemparan dari arah penonton mulai beterbangan, termasuk ke arah kubu sendiri.

Kubu menangkap apa yang akan terjadi bila tidak tahu diri. Maka, meski menang, tidak ada selebrasi di tengah lapangan. Para pemain langsung menuju lorong ke arah ruang ganti pakaian. Pun tidak mampir sekadar bersalaman ke tempat pelatih berada. Pemain cadangan dan ofisial juga langsung menuju ruang ganti baju.

Sampai di sini belum terjadi kerusuhan. Hanya teriakan dan lemparan. Tapi suasana memang mulai mencekam. Rencana tim melakukan selebrasi di ruang ganti pakaian pun dibatalkan. Pemain hanya diberi waktu 5 menit untuk ganti baju. Mereka harus segera menuju kendaraan taktis polisi. Mereka diamankan. Agar bisa keluar dari kompleks stadion dengan selamat. Empat kendaraan taktis sudah disiapkan di depan stadion. Cukup untuk semua tim . Aman. Mereka berhasil bisa masuk rantis semua.

Di dalam stadion pemain dan ofisial FC masih di tengah lapangan. Mereka akan melakukan apa yang biasa dilakukan setelah pertandingan: kumpul di tengah, membuat lingkaran dan menghormat ke penonton.

Tapi suasana tidak seperti biasanya. Stadion yang penuh dengan 40.000 penonton tidak segera longgar. Mereka tetap di stadion. Tidak banyak yang meninggalkan tempat untuk pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Mereka masih belum mau beranjak. Masih ribut dengan teriakan. Juga lemparan.

Para pemain menunggu di dalam rantis polisi: kapan kendaraan taktis itu bergerak meninggalkan stadion. Tapi kendaraan tidak kunjung bergerak. Tidak bisa bergerak. Jalan keluar dari stadion itu penuh oleh manusia. Para pemain sempat selebrasi di dalam kendaraan polisi itu tapi hanya satu menit. Selebrasi mereka terhenti oleh kilatan nyala api tidak jauh dari mereka. Ada mobil yang terbakar. Ini berarti gawat. Apalagi kendaraan mereka masih tetap berhenti di tempat.

Di dalam stadion, para pemain yang berkumpul di tengah lapangan berinisiatif bersama-sama berjalan ke arah tribun penonton. Gestur tubuh mereka seperti ingin meminta maaf atas kekalahan itu. Mereka melangkah pelan ke arah tribun.

Tiba-tiba terlihat satu penonton meloncat pagar. Ia lari masuk lapangan. Ia menyongsong para pemain yang berjalan ke arah tribun. Penonton itu terlihat merangkul kiper. Lalu menyalami yang lain. Pihak keamanan terlihat berusaha mencegah penonton itu berada di tengah pemain. Tapi sesegera itu beberapa penonton lagi berhasil meloncati pagar. Mereka juga menuju pemain . Kian banyak saja yang berhasil meloncati pagar. Lapangan pun mulai penuh dengan penonton.

Petugas keamanan bertindak. Terlihat di video ada petugas yang menghardik penonton dengan kasar. Menendang. Mementung. Memukul.

Adegan seperti itu dilihat dengan sangat jelas oleh penonton yang ada di tribun, yang posisi mereka lebih tinggi. Emosi penonton meledak. Solidaritas sesama penonton meluap. Begitulah psikologi penonton sepak bola. Mereka disatukan oleh emosi. Mereka tidak peduli suku, agama, ras, umur, dan gender. Mereka merasa satu keluarga, satu suku, satu bangsa, satu agama. Tidak ada persatuan bangsa melebihi persatuan bangsa sepak bola.

Saya pernah membuat kaus dengan tema tulisan seperti itu: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Bahasa Bola.

Saya melihat, dari situlah tragedi itu meledak. Ini bukan lawan . Bukan nia lawan . Ini penonton lawan petugas.

Ada teriakan Sambo juga di sana.

Mengamankan tim ke rantis sudahlah langkah yang jitu. Apalagi kalau bisa segera keluar dari kompleks stadion. Maka prioritas berikutnya, seharusnya, membuka jalan keluar dari stadion. Bukan saja untuk tim lawan, juga untuk mengurangi kepadatan stadion. Pasti banyak juga yang sudah ingin pulang. Sudah sangat malam. Tapi mereka tidak bisa keluar. Buntu.

Di dalam stadion sebenarnya sudah tidak ada lagi faktor penentu yang bisa memicu kerusuhan. Kalau pun mereka kecewa kepada tim , itu kekecewaan orang yang mencinta. Tidak akan mencelakakan mereka. Sama dengan kekecewaan pada tim 2022.

Maksimum yang akan terjadi adalah merusak stadion. Seperti yang dilakukan dua minggu lalu ketika kalah oleh Rans United FC 1-2. Stadion Gelora Delta Sidoarjo dirusak. Itu pun hanya mampu merusak pagarnya. segera memperbaiki: habis Rp 170 juta. Tidak ada yang luka. Apalagi meninggal dunia.

Maka yang terbaik dilakukan di dalam stadion Kanjuruhan malam itu adalah: mereka yang masuk ke lapangan itu jangan diusir. Jangan dihardik. Diminta saja untuk duduk. Di atas rumput. Seluruh pemain dan ofisial juga memulai duduk. Petugas juga duduk. Biarkan emosi tercurah dulu. Perlu waktu untuk meredakan emosi.

Sama sekali tidak ada faktor yang menakutkan malam itu. Mereka itu satu bangsa: bangsa bola. Tim lawan sudah diamankan. Cukup. Tim tuan rumah tidak akan diapa-apakan –maksimum dimaki-maki atau diludahi. Saya sudah kenyang dengan hal seperti itu. Pun dilempari kencing dalam plastik.

Menghardik mereka hanya menambah emosi. Apalagi menendang dan memukul. Tambah lagi tembakan gas air mata. Yang bikin panik. Bikin sesak. Bikin berdesakan.

Kita begitu berduka. Kita juara dunia sepak bola di segi tragedinya.

Kita harus bangkit dengan prestasi. Kalau pun kita dihukum FIFA selama lima tahun, kita manfaatkan itu untuk benah-benah di dalam negeri. Lima tahun mendatang kita buat kejutan internasional. Sekali bebas dari hukuman, prestasi langsung mengejutkan. Di mata dunia. Setidaknya Asia. (Dahlan Iskan).

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan meilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Penemuan Bayi Laki-Laki di Malang, Ada Bekas Luka Cekikan pada Leher':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO